Selasa, 20 Mei 2014

GALUNGAN

MAKNA PERAYAAN GALUNGAN


Dulu ketika aku masih anak anak perayaan Hari Raya Galungan sangat terasa sekali, dimana setiap Galungan kita pasti akan dibelika pakaian baru dan suasana pada hari Galunganpun jauh berbeda dengan hari hari biasa. Itu sekitar tahun 1970 an dimana saat itu belumlah ada barang barang seperti saat ini apalagi aku hidup di desa yang jauh dari kota, jangankan mainan dari pabrik, kendaraan / angkutan umum yang lewat di desaku sehari cuman dua kali yaitu pagi pukul 7.30 dan sore pukul 2.30 maklum cuman ada dua bus kecil yang lewat di desaku, kalau telat sedikit ya udah nggak jadi pergi nunggu besoknya….. sehingga saat itu kalau yang namanya makan daging ya saat Galungan itu, dan itu rasanya luar biasa sekali, mungkin anak yang lain juga merasakan seperti itu juga.
Tapi sekarang Galungan rasanya sama saja dengan hari hari biasa cuman sekarang yang masih kita lakukan adalah persembahyangan bersama di Pura.
Apakah sebenarnya Galungan Itu ?????????????

Galungan adalah hari raya suci umat Hindu yang dikenal pula dengan istilah hari Pawedalan Jagat dan juga hari yang diperingati sebagai kemenangan dharma atas adharma. Namun sebelum merayakan Galungan yang jatuh pada Buda Kliwon wuku Dungulan, sebenarnya ada beberapa hari raya yang menjadi satu rangkaian dengan hari raya Galungan. Antara lain adalah hari Sugihan. Sugihan ini dirayakan satu minggu sebelum perayaan Galungan.

Pada ulasan kali ini, marilah kita mencoba bersama-sama untuk menelusuri lebih jauh mengenai semangat maupun nilai-nilai yang dikandung dalam peryaan sugihan itu sendiri. Selain itu juga mengenai apa dan bagaimana bentuk aplikasi dari nilai yang terdapat dalam perayaan ini.

Pembahasan Hari raya Sugihan merupakan rangkaian hari raya yang menyertai hari raya Galungan. Hari raya ini dirayakan umumnya tidak seistimewa ataupun semeriah Galungan. Namun hari raya ini memiliki nilai filosofi yang tidak kalah penting dari filosofi Galungan sebagai hari peringatan kemenangan dharma atas adharma. Sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh mengenai hari raya Sugihan, maka terlebih dahulu marilah kita mencoba memaknai definisi kata sugihan tersebut dari sudut etimologi kata sugihan itu sendiri.

Sugihan secara etimologi berasal dari kata sugi, yang berarti suci atau kesucian. Sehingga definisi dari hari raya sugihan itu sendiri adalah suatu hari raya, yang diperuntukan sebagai waktu untuk melaksanakan pensucian. Pensucian disini tentunya dikaitkan dengan perayaan dari hari raya Galungan, sebelum Galungan datang, hendaknya kita melaksanakan pensucian. Pensucian terhadap apa ? pensucian terhadapa bhuana agung dalam hal ini adalah lingkungan termasuk peralatan yang akan dipergunakan pada saat Galungan. Dan pensucian terhadap bhuana alit dalam hal ini adalah diri kita sendiri, sebagai pelaksana dalam perayaan hari raya Galungan.

Dalam Panca Niyama Brata, atau lima macam pengendalian diri tahap kedua untuk mencapai tujuan akhir yaitu moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Konsep kesucian ini disebut dengan sauca. Yang dalam pustaka Silakrama 64 dituliskan sebagai berikut;

Akrodha grurususrusa, saucam ahara-laghawam
Apramadac ca pancaite, niyamah ciwabheasitah

(Yang namanya akrodha ialah tidak suka marah, yang bernama guru susrusa ingin berhubungan rapat dengan guru, karena ingin mendengar pelajaran guru, yang bernama sauca selalu berdoa, memohon kebersihan lahir bathin terhadap Tuhan. Yang bernama aharalaghawa, tidak sembarangan makanan dimakan, apramada namanya tidak segan-segan membiasakan ajaran kependetaan/ kerohanian. Kelima itu bernama Niyama Brata, sabda bhatara Siwa)

Mengenai definisi maupun makna yang terkandung dalam hari raya Sugihan telah kita bahas bersama. Kemudian akan timbul pertanyaan lain, kenapa hari raya Sugihan menjadi rangkaian dalam perayaan hari raya Galungan. Pertanyaan ini dapat dijelaskan atau diuraikan sebagai berikut. Galungan diibaratkan sebagai suatu puncak kemenangan dharma atas adharma. Secara logis, tentunya untuk memperoleh suatu kemenangan, terdapat suatu rangkaian peristiwa perjuangan sehingga kemenangan tersebut dapat diraih dengan gemilang.

Hari raya Sugihan merupakan rangkaian proses perjuangan dari dharma atas adharma. Dalam proses ini ada dua hal yang dititik beratkan yaitu bhuana agung dalam hal ini adalah lingkungan sekitar dan bhuana alit yaitu diri sendiri. Diusahakan pada kedua tempat ini, dharma selalu dapat unggul daripada adharma.

Perjuangan ini diwujudkan dalam bentuk pensucian terhadap kedua hal tersebut, yakni bhuana agung dan bhuana alit. Sehingga hari raya Sugihan juga dibedakan atas hari raya Sugihan Jawa dan hari raya Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sedangkan kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan pada saat hari raya Sugihan Bali.

Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Maksudnya ialah pada waktu hari raya ini yang disucikan ialah dewa, yang dalam dalam hal ini mewakili kondisi bhuana agung (makrokosmos) yang terdapat di alam semesta ini. Sedangkan pada hari Sugihan Bali disebutkan Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Maksudnya ialah dilaksanakan pensucian bagi bhuana alit (mikrokosmos) dari alam semesta ini, yaitu diri kita masing-masing.

Lebih jauh lagi, kenapa hari raya Sugihan ini menjadi rangkaian dari perayaan kemenangan dharma atas adharma, ialah kembali dari definisi kata sugihan itu sendiri yaitu kesucian. Kesucian sangat berperan dalam menegakan atau memenangkan dharma atas adharma. Kalau kita renungkan lebih dalam, titik akhir dari semua pergulatan hidup di alam semesta ini adalah kesucian itu sendiri. Tanpa kesucian dari jasmani dan rohani bagaimana kita dapat melampaui rintangan kelahiran ini untuk mencapai apa yang dinamakan moksartham jagadhita ya ca iti dharma, bukankah demikian ?

Seperti yang telah kita kupas bersama, bahwa hari raya sugihan terdiri atas hari raya sugihan Jawa dan hari raya sugihan Bali. Pertanyaan selanjutnya ialah, kapankah kedua macam hari raya sugihan ini diperingati atau dirayakan ? Sebagaimana yang kita ketahui bersama, secara garis besarnya, pedoman atau patokan yang dipakai dasar untuk memperingati hari raya keagamaan bagi umat Hindu dibedakan menjadi dua macam yaitu: berdasarkan perhitungan sasih (pranata mangsa) dan berdasarkan pawukon (wuku).

Karena hari raya sugihan ini merupakan rangkaian dari perayaan Galungan, maka secara otomatis, hari raya ini diperingati berdasarkan pawukon (wuku) yaitu setiap 210 hari sekali. Tepatnya Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrehaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Sedangkan Sugian Bali diperingati keesokan harinya yaitu pada Sukra Kliwon Wuku Sungsang.

Sebagai bagian dari rangkaian hari raya Galungan, yang merupakan perayaan sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan dorongan Asuri Sampad dan Daiwi Sampad, dimanakah selayaknya hari raya Sugihan ini dirayakan ? Pertanyaan ini mengacu kepada tempat pelaksanaan hari raya Sugihan.

Seperti yang telah diulas, bahwa Sugihan sebagai peringatan untuk pensucian bagi bhuana agung dan bhuana alit, maka tempat pelaksanaannya tentu saja dititik beratkan pada dua hal ini. Secara umum sebagai sebuah hari raya suci, maka tentu saja yang paling utama pelaksanaan peringatan hari raya Sugihan ini dilaksanakan di tempat yang suci pula yaitu Pura ataupun Sanggar. Mengapa demikian ?, karena tempat tersebut merupakan tempat bersthananya kekuatan dari Brahman selaku pencipta alam semesta ini. Disamping itu pula pelaksanaan di pura juga dapat menyatukan simbol dari bhuana agung yaitu lingkungan pura itu sendiri serta bhuana alit yaitu umat yang melaksanakan persembahyangan di sana.

Namun tidak ada satupun sastra suci Hindu yang mewajibkan perayaan sugihan dilaksanakan di Pura ataupun Sanggar, kalaupun kita tidak dapat pergi ke tempat suci tersebut, kita dapat merayakan Sugihan di rumah dengan penuh rasa penghayatan terhadap makna yang dikandung dalam Sugihan itu sendiri.

Adalah jauh lebih berarti merayakan Sugihan di rumah dengan penuh kesadaran dan pengetahuan akan makna sugihan itu sendiri daripada merayakan di tempat suci namun segenap pikiran atau manah kita tidak tercurah pada pesan yang terkandung dalam perayaan itu sendiri.

Hari raya Sugihan merupakan bagian sebuah perayaan hari suci Galungan, siapakah yang boleh merayakan ini ? adakah batasan pelaku dari perayaan Sugihan ini ?. Apabila meyangkut kajian kepercayaan terhadap keberadaan pencipta alam semesta ini, maka tentu saja perayaan Sugihan ini dititik beratkan kepada mereka yang memeluk agama (kepercayaan) Hindu

Namun diluar kajian tersebut semangat perayaan Sugihan dapat dirayakan oleh siapa saja tanpa mengenal suatu batasan, karena sesunguhnyalah Brahman itu sendiri tidak terbatas oleh apa pun juga. Batasan itu ada, salah satunya karena budaya manusia.

Dalam Hindu sendiri, tidak ada batasan siapa yang boleh atau tidak boleh merayakan Sugihan, siapa pun ia, baik anak kecil, atau orang dewasa. Apakah ia rohaniawan atau bukan, apakah ia pejabat atau rakyat. Semua berhak merayakan Sugihan sebagai bagian dari perayaan penegakan Dharma atas Adharma.

Prabu Sri Aji Joyoboyo dalam salah satu wejangannya mengenai zaman Kertayuga khususnya pada zaman Kerta Hastuta, mewejangkan mengenai keberadaan dan sifat Gusti Sang Hyang Widhi Wasa sebagai berikut; Hyang Widhi iku siji, ana ing ngendi papan, langgeng, sing nganakake jagad iki saisine, dadi sasembahane wong saalam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe ( Sang Hyang Widhi itu satu, ada dimana-mana, abadi, pencipta alam seisinya, dan menjadi sasembahan manusia sejagad raya, dengan memakai tata caranya masing-masing) Hyang Widhi iku ora mbedak-mbedakake kawula-Ne (Gusti Sang Hyang Widhi itu tidak membeda-bedakan makhluk-Nya)

Dari wejangan tersebut dapat kita ketahui kalau Gusti sang Hyang Widhi ada dimana-mana dan tidak membeda-bedakan umatNya serta menerima semua bentuk tata cara menuju manunggaling pada Dia. Termasuk pula melalui perayaan hari raya Sugihan ini.

Sebagai pembahasan terakhir kita ialah mengenai bagaimana pelaksanaan perayaan Sugihan ini ? dan juga bagaimana usaha-usaha yang dapat dilakukan guna memantapkan nilai-nilai yang terdapat dalam peryaan hari raya Sugihan ini ?

Inti dari perayaan Sugihan ini adalah suatu proses ataupun usaha pensucian terhadap bhuana agung dan bhuana alit, yang datangnya setiap 210 hari sekali, sebagai rangkaian dari peringatan kemenangan dharma atas adharma. Pada Sugihan Jawa, aktivitas yang dapat dilakukan sebagai cermin dari pensucian bhuana agung adalah membersihkan areal tempat suci dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci tersebut. Selain membersihkan areal tempat suci, juga dilakukan pembersihan pada lingkungan rumah masing-masing. Pembersihan ini tentunya dilakukan baik secara sekala maupun niskala. Secara sekala misalnya dengan gotong royong membersihkan lingkungan tempat suci ataupun rumah masing-masing. Sedangkan secara niskala dapat dilakukan dengan persembahayangan bersama baik di tempat suci maupun di rumah masing-masing.

Untuk hari Sugihan Bali, sebagai waktu yang ditujukan bagi pensucian bhuana alit, yaitu bagi diri kita sendiri-sendiri. Dapat dilakukan dengan melaksanakan upawasa semampunya, maupun dengan melaksanakan persembahyangan baik di rumah maupun di tempat suci. Dapat pula dengan melakukan samadhi, untuk menenangkan pikiran dalam menyambut datangnya hari kemenangan dharma atas adharma. Sloka dari pustaka suci Manawa Dharma Sastra berikut ini, dapat pula dijadikan pedoman dalam pelaksanaan Sugihan Bali. Adapaun bunyinya sebagai berikut: Adbirgaatrani suddhyati, Manah satyena suddhyati, Vidya tapobhyam bhutaatma, Buddhir jnyanena sudhyati (Badan dibersihkan dengan air, Pikiran disucikan dengan kebenaran dan kejujuran, Atman disucikan dengan ilmu pengetahuan dan Tapa, Budhi disucikan dengan kebijaksanaan) Manawa Dharmasastra V.109

Bunyi sloka tersebut, memberi kita suatu tuntunan tindakan yang dapat ditempuh dalam usaha-usaha yang diperuntukan bagi pencapaian kesucian atau kebersihan dari diri kita sendiri, baik secara sekala maupun niskala, dan secara jasmani maupun rohani.

Bertolak dari bunyi sloka tersebut, maka sebenarnya penerapan konsep atau tattwa dari hari raya Sugihan ini, dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep kesucian ini dapat meningkatkan kualitas hubungan sosial kita secara horisontal yakni dengan sesama dan juga dengan lingkungan alam kita. Maupun kualitas hubungan rohani kita secara vertikal dengan Brahman (Gusti Sang Hyang Widhi).

Sebagai contoh, nilai yang terkandung dalam perayaan Sugihan Jawa ialah pensucian terhadap bhuana agung (makrokosmos). Banyak tindakan yang terkesan sederhana tapi dapat mencerminkan nilai-nilai ini dalam hidup bermasyarakat. Misalnya saja, menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, tidak melanggar pertauran lalu lintas yang telah ada, peduli dan aktif dalam kegiatan gotong royong membersihkan jalan umum atau pun sarana peribadatan seperti pura atau sanggar. Gotong royong seperti ini seyogianya tidak perlu menunggu datangnya Sugihan, dapat dilaksankan setiap bulan sekali. Bisa dibayangkan aklau kegiatan seperti ini dilakukan hanya pada saat Sugihan, tempat suci kita tentu akan berkurang keasrian dan kesuciannya baik secara sekala atau niskala.

Sedangkan nilai yang terkandung dalam sugihan Bali, sebagai waktu yang ditujukan untuk pensucian bhuana alit yaitu diri kita sendiri, juga dapat dilaksanakan secara rutin setiap hari. Misalnya saja dengan menerapkan konsep Tri Kaya Parisudha pada kehidupan bermasyarakat kita. Dengan mengusahakan kebersihan dan kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan kita, niscaya kesucian diri pribadi dapat kita capai.

Hari raya Sugihan merupakan rangkaian dari perayaan Galungan, dimana kita dianjurkan untuk sennatiasa mengusahakan kesucian bhuana agung dan bhuana alit. Yang mana diharapkan akan bermuara pada penemuan kesejatian diri. Penemuan kesejatian diri bukanlah hal yang terjadi secara cepat, hanya melalui satu kali peryaan Sugihan. Tapi selalu dilakukan usaha-usaha yang sungguh-sungguh, untuk senantiasa menerapkan nilai dari Sugihan itu sendiri dari kelahiran ke kelahiran. Kita berusaha menghilangkan pengaruh kurang baik karma wasana-karma wasana yang lampau untuk sampai pada pembebasan (Moksha).

Semoga perayaan Sugihan kali ini dapat labih mantap lagi dan lebih sempurna, disinari oleh sinar suci Veda. Semoga Brahman dalam segala manifestasinya selalu membimbing kita ke jalan pembebasan.sejati.

Kembali ke Hari Raya Galungan

Galungan adalah hari kemenangan Dharma melawan Adharma yaitu pemujaan terjadinya kemenangan kebenaran atas ketidakbenaran dengan restu Sang Hyang Widhi Wasa. Galungan diadakan kira 210 hari sekali pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang mempunyai arti “menang” Galungan mempunyai arti yang sama juga dengan “Dungulan”, yang juga berarti menang. Oleh karena itu di Jawa, wuku yang ke 11 disebut “Wuku Galungan” dan di Bali disebut dengan “Wuku Dungulan”. Kedua nama itu berbeda namun artinya tetap sama.
Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan kapan Hari Raya Galungan ini pertama kalinya dirayakan di Indonesia, Galungan dirayakan untuk pertama kalinya pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, pada tahun Saka 804 (882 Masehi).
Apabila bertepatan dengan purnama, Galungan di adakan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping itu ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa Kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut “Galungan Nadi”, yang datangnya sekitar kurun waktu 10 tahun sekali.Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa Disebutkan pula, bahwa pulau Bali saat merayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka.
Galungan sempat di hentikan perayaannya pada masa raja Sri Ekajaya (tahun Saka 1103) dan raja Sri Dhanadi. Namun saat Galungan dihentikan perayaannya banyak terjadi musibah dan malapetaka yang menimpa Bali, saat itu banyak pejabat pejabat wafat diusia yang relatif masih muda. Saat raja Sri Dhanadi mangkat dan digantikan raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali setelah beberapa puluh tahun tidak dirayakan.
Cerita ini semua dipaparkan dalam Lontar Sri Jayakasunu yang bercerita tentang kegundahan raja Sri Jayakasunu yang merasa heran,karena banyak pejabat pejabat meninggal saat usia muda, oleh sebab itu kemudian Raja Sri Jayakasunu melakuakan semedhi tapa brata dan mendekatkan diri dengan para Dewata, tapa brata dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Saat melakukan tapa brata raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan gaib ( pawisik ) yang berasal dari dewi Durgha. Dalam bisikan gaib ( pawisik ) itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Dewi Durgha meminta kepada raja Sri Jayakasunu untuk kembali mengadakan perayaan Galungan pada setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Lalu dewi Durgha juga meminta raja Sri Jayakasunu dan rakyatnya untuk memasang “penjor” Penjor sendiri mempunyai makna ungkapan rasa terima kasih atas kemakmuran dan kesejahteraan yang melimpahkan ruah dari Hyang Widhi wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ). Penjor adalah Bambu yang menjulang tinggi dan melekung ini diibaratkan sebagai gambaran gunung agung tempat suci para dewa bersemayam. Penjor ini dihiasi dan terdiri dari kelapa ,pisang, tebu, padi, dan kain.ini semua adalah perwakilan dari seluruh tumbuhan sandang dan pangan.
Satu hari sebelum Galungan yaitu pada hari selasa, diadakan juga Upacara pembersihan diri dan hari ini dinamakan hari Anggara Wage Dungulan atau hari Penampahan di mana segala nafsu harus dihilangkan dan semua sifat manusia yang tidak baik di tinggalkan untuk menyambut hari Galungan esok hari dengan hati yang bersih dan suci lagi.
Pada esok harinya setelah Galungan pada hari kamis seluruh masyarakat bali yang beragaman hindu bersama sama menikmati sisa sajian dan melakukan pensucian dan sembahyang di rumah masing masing pada saat fajar menyingsing dengan air wangi (kumkuman) dan air suci (tirtha).Lalu saling berkunjung dan mendoakan keselamatan.

Pada hari berikutnya dinamakan hari “Sabtu Pon Dungulan” yang juga disebut hari Pemaridan Guru. Hari ini melambangkan kembali nya dewata ke sorga dan meninggalkan anugrah hidup sehat dan panjang umur (kadirghayusaan).Dihari ini seluruh umat dianjurkan untuk menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara ini mengandung makna umat dapat menikmati Waranugraha Dewata. Dihari selanjutnya yaitu hari “Jumat Wage Kuningan” juga disebut hari Penampahan Kuningan.. Dihari ini dianjurkan untuk melakukan kegiatan rohani yang disebut juga dengan “sapuhakena malaning jnyana”, yaitu menghilangkan pikiran pikiran yang tidak baik dalam diri kita. Pada keesokan harinya, “Sabtu Kliwon” disebut juga hari “Kuningan”. Pada saat upacara dan memberikan sesajian hendaknya dilaksanakan pada pagi hari karena saat tengah hari para dewata sudah kembali ke surga Saat ini Galungan diperingati dengan meriah oleh seluruh umat hindu di bali dengan mengadakan Upacara dan bazar yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota yang ada di Bali.

maaf ini cuman Kopas punya orang untuk diri sendiri...


Om Santih, Santih, Santih, Om

Tidak ada komentar:

Posting Komentar