Kamis, 22 Mei 2014

HAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA BALI

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b4586344aa95/lt4f828a3b70846.jpg
Menurut I Ketut Sudantra, dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana (“Unud”), dalam artikel berjudul Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan, hukum adat Bali yang bersistem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mempunyai hak untuk menikmati harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan suami (sumber:Balisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011).
 
Hal di atas juga tercermin dalam putusan Mahkamah Agung No. 200 K/Sip/1958 tanggal 3 Desember 1958, yang antara lain menyatakan:
 
“Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki; Maka Men Sardji sebagai saudara perempuan bukanlah akhli waris dan mendiang Pan Sarning.”
 
Namun, “angin segar” bagi kaum perempuan Bali dalam hal pewarisan bertiup beberapa tahun lalu, tepatnya pada 2010. Angin segar tersebut berupa dikeluarkannya Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III MUDP Bali (“Keputusan Pasamuhan Agung III/2010”) .
 
Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 diputuskan mengenai kedudukan suami-istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan (anak kandung maupun anak angkat).
 
Secara singkat, hak waris anak perempuan menurut Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 adalah sebagaimana dijelaskan oleh pakar hukum adat FH Unud Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si.sebagai berikut:
 
Sesudah 2010 wanita Bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.
 
Demikian sebagaimana kami kutip dari artikel balipost.co.id berjudulWanita Bali Multifungsi Tetap Dipinggirkan (24/02). Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 lebih lengkapnya bisa dilihat dalamBalisruti, Suara Millenium Development Goals.(MDGs), Edisi No. 1 Januari-Maret 2011.
 
Mengenai Keputusan Pasamuhan Agung III/2010 tersebut, Sudantra menulis antara lain:
 
“Barangkali timbul pertanyaan, apakah keputusan-keputusan Pesamuan Agung tersebut akan serta merta menjadi pola kelakuan yang ajeg dalam masyarakat sehingga berlaku sebagai hukum adat dalam kenyataan? Tentu kita harus bersabar untuk sampai pada tahap perkembangan tersebut. Keputusan-keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut tentu saja akan menjadi pedoman dalam revitalisasi hukum adat Bali melalui penyuratan awig-awig desa pakraman, karena salah satu fungsi MUDP adalah melakukan pembinanan terhadap awig-awig desa pakraman.
 
“Dengan begitu, akan terjadi sosialisasi dan internalisasi di kalangan masyarakat hukum adat Bali mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Keputusan MUDP tersebut. Lebih dari itu, keputusan Pesamuan Agung MUDP tersebut akan memudahkan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum adat dalam tugasnya menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, ketika hakim di Pengadilan-pengadilan yang ada di Bali mengadili kasus-kasus pewarisan.”
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
  

Makalah Hukum Adat Bali

Makalah Hukum Adat Bali

Ratings:  (1)|Views: 5,850|Likes: 
Published by Kabeh Nuza Modifyer
Makalah Hukum Adat Bali, termasuk didalamnya hukum perorangan, hukum keluarga, hukum waris, dan delik adat
See More
 
BAB IIIPENUTUPA.KesimpulanDari uraian makalah kami ini dapat kami simpulkan bahwa hukum adat balimerupakan sekumpulan peraturan baik tertulis/awig-awimauputidatertulis berdasarkan atas kebiasaan yang menjadi arah dan petunjuk dan batasan terhadapaktivitas agama ataupun perbuatan anggota masyarakat adat. Adapun beberapa contohhokum adat bali itu mengatur baik hokum perorangan, hokum kekeluargaan, hokumwaris, hokum perkawinan dan hokum delik adat. Selain itu hokum adat bali juga sangaterakaitannya bahkan tidak terpisahkan dengan agama hindu, karena beberapdari
20
 
hukum adat yang ada bersumber dari ajaran agama. Sehingga kadang sulit dibedakanantara hukum adat dengan agama. Sehingga hokum adat bali ini pada akhirnya akanmenunjukkan jiwa/romasyarakat bali yang kental dengan budaya, dan tradisinya. Darihokum adat bali itu merupakan perwujudan dari konsep Tri Hita Karane , Bagaimanamenjalin hubungayang harmonis antara manusidengan tuhan, manusidengansesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.B.SaranMelihaperkembangan jaman tentu membawa perubahan, karena sifat hokuyangmengikuti pekembangan manusia , begitu juga hokum adat bali sehingga untuk dapatmemahamsecara uuhokum adat bali perlpengkajiamengenabagaimana perkembangan hokum adat di bali

Susunan Upacara Pernikahan Adat Budaya Bali

...,TERIMA KASIH ANDA TELAH MAMPIR KE BLOG INI,...


Susunan Upacara Pernikahan Adat Budaya Bali



Kalau ada teman-teman kebetulan berwisata ke Bali, dan pada saat itu kebetulan juga teman-teman menemukan sebuah upacara adat di bali, khususnya upacara adat pernikahan ini, itu merupakan suatu keberuntungan mengapa demikian?, itu disebabkan karena upacara ini memang tidak rutin diadakan setiap waktu di Bali, upacara ini hanya berlangsung pada hari-hari tertentu saja, oleh kalangan keluarga tertentu, dan biasanya juga tidak terlalu terbuka untuk umum, hanya kalangan keluarga dan kerabat dekat saja, kecuali kalau kita mendapatkan ijin terlebih dahulu,...
Namun untuk menambah pengetahuan saja, saya akan coba menceritakan sedikit bagai mana susunan upacara tersebut, berdasarkan tatanan adat yang ada dan pokok-pokok dari inti upacara ini, inti upacara ini sebenarnya sama disetiap daerah dibali, namun yang membedakannya adalah tambahan-tambahan (fariasi) yang disesuaikan di masing-masing daerah tersebut.

Dari sebuah buku yang saya dapat, yaitu yang berjudul " Upacara Manusia Yadnya" yang ditulis oleh "Rsi Bintang Dhanu Manik Mas, I.N. Djoni Gingsir, disana dijelaskan dengan sangat sederhana, dan kunci-kunci pokok dasar tatanan upacaranya pun amat ringkas, sehingga menjadi sangat mudah untuk dipahami, dan rasanya juga mudah untuk dilaksanakan, kalau kita mengingat falsafah "Desa Kala Patra" yang artinya disesuaikan dengan keadaan dimana upacara ini dilakukan, mungkin ini jawabannya.


Nah berikut saya sampaikan susunan dari acara pernikahan tersebut :
  1. Pertama mebiyakala, makna dari upacara ini adalah pensucian diri dari pengaruh-pengaruh buruk, perasaan dan pikiran-pikiran kotor, dengan menjalankan upacara ini diharapkan pikiran dan perasaan kedua mempelai menjadi jernih kembali, bersih suci nirmala. Dalam tata cara pelaksanaan upacara ini dilengkapi dengan bebantenan ( sesaji), sebagai bentuk etika dalam ajaran Hindu, nah isi daribebantenan (sesaji) sebagai berikut: Pras, Daksine, Ajuman, Suci dengan Telur Itik, Tipat Satu Kelan, Sesayut, pengambyan, dan lain-lain, yang keseluruhannya dijelaskan dalam buku tersebut diatas,..dengan adanya bebantenan ini membuat upacara ini menjadi lebih sakral dan amat suci. Kitapun akan terbawa larut didalamnya.
  2. Kemudian dilanjutkan dengan upacara Mesakapan atau disebut juga mekalan-kalan, upacara ini mempunyai makna yang amat dalam, sesuai dengan namanya "mekalan-kalan" yang memiliki kata dasar "kala" ini diartikan sebagai sebuah kekuatan buruk, yang penuh dengan energi negatif yang disimbulkan dalam ujud raksasa, diadakannya upacara ini tujuannya adalah menetralisir sifat-sifat kala yang ada dalam tubuh kedua mempelai, sehingga sedapat mungkin bisa berubah menjadi sifat dewa, yaitu bijak sana dan dipenuhi dengan kebajikan. Upacara ini dilaksanakan di tengah pekarangan rumah dalam istilah Balinya disebut dengan "natah". Kelengkapan upacara ini selain bebantenan seperti upacara diatas yang dijelaskan dalam buku yang saya maksud, ada juga lainnya yang membuat upacara ini semakin sarat dengan makna kehidupan, diantaranya adalah:
  • Tikar Tandakan, sebuah tikar berukuran kecil terbuat dari janur, disimbulkan sebagai kesucian seorang gadis yang akan menjalankan pesakapan (pernikahan).
  • Kala Sepetan, suwun-suwunan yang isinya antar alain, sebuah bakul berisi batu hitam seperti cobek, telur ayam, bebungkilan atau umbi-umbian seperti ubi, talas, bumbu dapur dan lain-lain, daun andong, kapas, uang 25, beras, yang kesemuannya ini dimaksudkan sebagai bekal untuk menghadapi hidup baru, disamping itu juga bakul tersebut di tutup dengan sabut kelapa yang dipecah menjadi tiga sebagai simbul "Tri Guna" (Satyam, Rajas, Tamas) yang merupakan sifat dasar dari manusia, kemudian sabut itu masing-masing di ikat dengan benang tiga warna (Tri Datu) merah, hitam, putih sebagai simbul Trimurti, Brahma, Wisnu, Siwa yang membatasi sifat triguna itu agar tercipta keseimbangan.
  • Tegen-tegenan, acara upacara ini penuh dengan makna filosofi Hindu, seperti misalnya tegen-tegenan dengan mengunakan batang tebu sebagai tongkat pemikul, diartikan sebagai tahapan dalam jenjang kehidupan ruas-ruas tebu menandakan tingkatan yang diharapkan terus semakin maju, dan rasa manis merupakan harapan agar hidup yang akan diarungi kedua mempelai ini semanis rasa tebu itu sendiri. Di tetegenan itu juga ada besek dan periuk, pacul, semuanya itu adalah perlambang peralatan yang nantinya digunakan oleh mempelai laki setelah bersetatus suami, untuk membangun rumah tangga sebagai modal dasar pencari nafkah.
  • Dagang-dagangan, upacara ini bermakna sebagai suatu tanda bahwa kedua mempelai harus saling bantu membantu, dalam membina rumah tangga kelak, sama-sama mengarungi bahtera hidup dalam susah maupun senang, sama-sama memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan rumah tangga, dengan berdagang untuk mempersiapkan diri menopang ekonomi dalam keluarga.
  • Penegtegan, yaitu upacara yang disimbulkan dengan berdirinya sebuah tiang, yang berisi sebilah keris, yang diartikan sebagai berikut, tiang merupakan pilar rumah tangga, yang menopang berdirinya sebuah rumah tangga, dengan sebilah keris yang melambangkan sebagai simbul purusha yaitu (garis utama asal usul keturunan dari pihak laki-laki).
  • Pemegat, terdiri dari dua batang cabang kayu dadap ditancapkan seperti pintu gerbang yang masing-masing dihubungkan dengan benang putih diletakan di natah (halaman) depan rumah, pintu gerbang dan benang putih perlambang kesiapan kedua mempelai keluar dari pintu gerbang menyongsong hidup baru dengan hati dan perasaan yang bersih dan suci seperti lambang dari benang putih tersebut di atas.
  • Tetimpugan, terdiri dara tiga ruas bambu yang pada pelaksanaanya nanti dibakar, agar menimbulkan bunyi letusan, maksud dari bunyi letusan itu sebagai tanda untuk mengusir pengaruh-pengaruh buruk yang diakibatkan dari energi-energi negatif, ketiga ruas bambu itu diartikan sebagai simbul Butha, Kala, Dengen yang merupakan unsur-unsur negatif tersebut.
Nah demikian susunan dari pelaksanaan upacara pernikahaan (mesakapan, pewiwahan, mekalan-kalan) dalam tatanan budaya adat istiadat di Bali, untuk lebih lengkapnya seandainya teman-teman ingin mengetahui lebih dalam mengenai bebantenan (sesaji) dan doa-doa yang digunakan dalam upacara ini sekaligus sebagai penambah pengetahuan, silahkan deh hubungi langsung penulisnya yaitu "Rsi Bintang Dhanu Manik Mas, I.N. Djoni Gingsir.

Pernikahan Adat Bali

Pernikahan Adat Bali

pernikahan adat bali
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karenamasyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.

Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:
  • Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.

Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
  • Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikantembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
  • Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
  • Madengen–dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian
  • Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
  • Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

Ngaben; Upacara Sarat Makna

Ngaben; Upacara Sarat Makna

Ngaben secara kasar bisa diartikan sebagai sebuah prosesi pembakaran mayat dalam masyarakat Hindu Bali. Secara etimologis, istilah ngaben adalah prosesi pembakaran mayat tidak selamanya tepat karena adakalanya tradisi ngaben tak selalu melulu tentang prosesi membakar mayat. Dalam bahasa lain di Bali, ngaben juga sering disebut dengan kata palebon. Kata ini diyakini berasal dari kata lebu yang berarti tanah atau debu. Jadi, ngaben atau palebon adalah sebuah prosesi upacara bagi sang mayat untuk ditanahkan (menjadi tanah). Dalam hal men-tanah-kan ini masyarakat Hindu Bali mengenal dua cara yakni dengan menguburkannya dan atau membakarnya. Dengan kata lain prosesi pembakaran mayat ada dalam upacara ngaben, tapi ngaben tidak berarti selalu berupa upacara pembakaran mayat. Secara bahasa, kata ngaben berasal dari kata beya yang berarti biaya atau bekal. Kata beya ini sendiri kemudian dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben.

Meskipun begitu, asal-usul dari kata Ngaben sendiri memiliki varian lainnya. Menurut beberapa para ahli, bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat awalan “ng” dan akhiran “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”. Dan karena yang ingin Budaya Nusantara bahas di sini adalah ngaben yang terdiri dari prosesi pembakaran mayat, maka kiranya istilah itu baik juga dipakai di sini.

Pertama-tama, dan adalah yang paling esensial dalam pembahasan ini adalah tempat dan alat untuk mengabukan mayat yang disebut dengan istilah pemasmian dan tunon. Pemasmian sendiri merupakan tempat atau wadah untuk memproses sang mayat menjadi abu, yang secara bahasa berasal dari kata basmi. Sedangkan tunon sendiri yang berasal dari kata tunu (bakar) merupakan areal dimana prosesi itu dilaksanakan. Kata lain dari tunon ini adalah setra atau sema. Setra berarti tegalan dan sema adalah sebutan lain dari Dewi Durga. Upacara pokok dan inti dalam ngaben itu sendiri disebut dengan istilah Tirta Pangentas yang bertujuan untuk memutuskan hubungan kecintaan sang roh (atma) dengan jasad wadagnya (jasmani) untuk kemudian mengantarkannya kembali ke alam pitra (alam keabadian).

Adapun, api yang digunakan dalam upacara ngaben ini terbagi menjadi dua jenis api, yakni, api sekala (kongkrit/nyata) dan api niskala (abstrak/tak nyata). Api sekala adalah api yang memang secara real digunakan untuk membakar tubuh sang mayat hingga menjadikannya abu. Sedangkan api niskala merupakan api tak kasat yang bertujuan untuk membakar kekotoran dan dosa-dosa yang melekati roh. Proses membakar kotoran dan dosa-dosa ini sendiri disebut dengan istilah mralina.

Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.

Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.

Jenis-jenis Ngaben yang Lazim pada Masyarakat Hindu Bali

Dalam masyarakat Hindu Bali, upacara ngaben terdiri dari beberapa jenis yang secara garis besar terbagi menjadi dua jenis ngaben yakni ngaben sederhana dan ngaben sarat (meriah). Untuk jenis-jenis ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sederhana antara lain: Mendhem Sawa, Ngaben Mitra Yajna, Pranawa, Pranawa Bhuanakosa, dan Swasta. Sedangkan untuk ngaben yang termasuk ke dalam ngaben sarat tergantung jenis sawa (jenasah) yang diupakarakan yaitu Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.


a.   Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sederhana:

1. Mendhem Sawa
Mendhem Sawa secara harfiah berarti menguburkan mayat. Dan seperti yang sudah saya jelaskan di atas, yakni Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau disebut dengan “bila tanem atau mratiwi”. Di samping itu juga, dalam masyarakat Hindu Bali ada semacam konfensasi untuk menunda pembakaran sang mayat karena tersebab oleh hal-hal yang dapat diterima seperti kurangnya biaya, sedang dalam keadaan darurat dan sebagainya. Atau mungkin juga dengan alasan-alasan filosofis seperti bahwa agar ragha sarira yang berasal dari unsur prthiwi sementara dapat merunduk pada prthiwi dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda prthiwi. Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera di aben. Bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dulu. Dititipkan pada Dewi penghuluning Setra (Dewi Durga).

2. Ngaben Mitra Yajna
Ngaben Mitra Yajna sebenarnya bukanlah nama yang resmi digunakan, tapi karena jenis ngaben ini oleh Lontar Yama Purwana Tattwa, di mana jenis ngaben ini bersandar, tak disebutkan namanya maka untuk membedakan dengan ngaben-ngaben lainnya maka ngaben ini secara tak resmi disebut dengan Ngaben Mitra Yajna. Mitra Yajna sendiri merupakan asal dari kata Pitra dan Yajna yang artinya kobaran suci. Secara garis besar, Ngaben Mitra Yajna ini dapat dijelaskan sebagai sebuah upacara pembakaran mayat seperti yang ditetapkan menurut ketentuan dalam Yama Purwana Tattwa. Ciri lain yang menonjol dari jenis ngaben ini adalah melakukan upacara ngaben selama tujuh hari dengan waktu pelaksanaan yang sembarang (tidak bersandar pada perhitungan hari baik).

3. Pranawa
Pranawa adalah aksara Om Kara. Adalah nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai simbol sawa. Dimana pada mayat yang telah dikubur tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin. Pejati dan pengulapan di Jaba Pura Dalem dengan sarana bebanten untuk pejati. Ketika hari pengabenan jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya diatas. Kemudian berlaku ketentuan seperti amranawa sawa yang baru meninggal. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan ngaben amranawa sawa baru meninggal, seperti yang telah diuraikan.

4. Pranawa Bhuanakosa
Jenis ngaben ini merupakan ajaran Dewa Brahma kepada Rsi Brghu, yang pada intinya merupakan prosesi upacara pembakaran mayat bagi yang belum lama meninggal. Dalam Pranawa Bhuanakosa ini tidak ada ketentuan bahwa sang mayat sebelumnya telah dikuburkan atau tidak. Selama sang mayat belum terlalu lama meninggal maka jenis ngaben ini dapat dilaksanakan.

5. Swasta
Ngaben Swasta dikhususkan bagi orang yang meninggal dan mayatnya tidak diketahui keberadaannya, tidak ditemukan (baik karena hilang atau karena terlalu lama dikuburkan), atau terlalu jauh (meninggal di tempat yang jauh). Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara ngulapin, bagi yang meninggal di kejauhan yang tidak diketahui dimana tempatnya, upacara pengulapan, dapat dilakukan diperempatan jalan. Dan bagi yang lama di pendhem yang tidak dapat diketahui bekasnya pengulapan dapat dilakukan di Jaba Pura Dalem.



b.   Jenis-jenis yang termasuk dalam Ngaben Sarat:

Jenis-jenis Ngaben Sarat terbagi atas dua jenis tergantung dari jenis mayat yang akan diaben yaitu apakah jenis Sawa Prateka atau Sawa Wedhana.

1. Sawa Prateka
Sawa Prateka adalah dikhususkan bagi mayat yang baru meninggal dan belum pernah diadakan upacara penguburan sama sekali. Prosesinya sendiri secara singkat dapat dikronologiskan sebagai berikut: setelah ruh meninggalkan badan, maka pertama-tama yang dilakukan oleh keluarga mendiang adalah mengadakan upacara bagi sang mendiang seperti memandikan jenazahnya, memercikinya dengan tirta pemanah, memberinya sesaji tertentu sebagai hidangan, dengan lebih dulu atma itu disuruh kembali sementara pada badannya terdahulu.

2. Sawa Wedhana
Sawa Wedhana adalah jenis ngaben yang dilakukan untuk mayat yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug). Adapun sawa yang telah ditanam di Setra namanya makingsan, dititipkan pada tanah. Atma itu dipegang oleh Bhatari Durga. Pimpinan setra. Demikian prihalnya sawa yang ditanam. Pada Waktu pengupacarakan sawa itu namanya sawa Wedhana. Tiga hari menjelang pengabenan ada upakarannya yang disebut ngulapin. Sawa yang telah pernah dipendhem disebut tawulan. Tawulan ini tidak ikut diupacarakan lagi tawulan ini diganti dengan pengawak, yang terbuat dari kayu cendana atau kayu mejegau yang panjangnya satu lengkat satu hasta. Dan lebarnya empat jari. Cendana ini digambari orang-orangan sebagai pengganti sawa. Pengawak ini disebut sawa karsian. Upacara ngaben jenis ini juga disebut Sawa Rsi.