Yang dimaksud dengan
Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih,
yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan
Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman,
dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta
Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan
Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah
dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak
Padmasana.
Asta Bumi menyangkut
pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
HULU-TEBEN.
"Hulu"
artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah
berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua
patokan mengenai hulu yaitu
Mengenai arah Timur
bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak
gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi
Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur
sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur
laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung
atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka
hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke
arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu
yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun
pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura
adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan
terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran
panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman
seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan
tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan
umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar
menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
Ketiga Mandala itu
merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk
segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi
madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah
bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah
bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah
bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista
mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala
dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana
penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale
pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di
nista mandala ada pelinggih
"Lebuh"
yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan
lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista
mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara
madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan
nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan
jalan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah
gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal
sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu
dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as"
pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau
satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan
gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah
yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu
halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah
utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian
seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk
menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih
yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa",
kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung
tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu
jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan
kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak
dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri)
ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak
yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok
"penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga
menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak
pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup
jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu
juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan
tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang)
menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di
Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG
DIBANGUN. Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di
luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai
niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia
kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH
sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang
melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain
yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat
bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan
juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih
memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE
PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum
masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang
dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah
selesai.
Jika ingin membangun
Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
"turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya
"berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang
Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan
oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan
Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih
untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan
pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang
dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang
Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal
yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma
dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta
Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang
Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain
dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi
yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut
9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah
pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang
mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita
(istri Kawitan).
Cara menempatkan
pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang
diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di
teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di
atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka
letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri
dan keteben kanan.
Sumber: Bhagawan Dwija
Ida Pandita Nabe Sri
Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan
Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja - Bali. Telpon: 0362-22113, 27010. HP
081-797-1986-4
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu
kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan
kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan
antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar
Oleh N. Gelebet
Menyukuri
kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan
dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu
dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang
dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan
gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan
kemanjaan teknologi.
Kesadaran mendasar
dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya.
Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan
hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal
krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala
kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.
Proses Membangun Pura
Berawal dari nyanggra
pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual
dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk
mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana
membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai
subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak,
ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan
hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci,
nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan
penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat
terwujud.
Selanjutnya ngelakar
sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang
masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan
jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau
permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan
sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng
dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.
Pekerjaan komponen
konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar.
Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan
arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap
tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka,
namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi
atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang
kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya
sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang
dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal
yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit
dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses
penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata
cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah
maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu
karismatis.
Pemugaran Pura-pura
kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan
belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke
polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa
tanpa magis power yang menjiwai.
Pembangunan pura tanpa
pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil
sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.
Pekerjaan Konstruksi
Setelah nyanggra,
nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug,
ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih
dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit.
Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya
seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi
lain.
Kemudian ngenteg
linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar,
lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara
dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian
yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi
apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat
akidah ruang ritual yang direncanakan.
Pekerjaan konstruksi
ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan
berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang
ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan
nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai
penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai
angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan
karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang
memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan
(pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat
fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami
kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah
manakala perawatan diabaikan.
Ngurip Wewangunan
Prosesnya sejak awal,
ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau
mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman
dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari,
guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang.
Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan,
pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna
pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan
sebagai bangunan sesuai namanya.
Bahan-bahan bangunan
telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara
melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara
peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan.
Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran
ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan.
Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara
bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Klasik, etnik dan unik
memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi
pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma
yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.
Benarkah dengan
diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu
yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin
penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang
dibangun dengan sistem tender.
Raibnya bukti pura,
ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu
terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.
Sumber: Terimakasih
kepada Bali Post
Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar
|
Senin, 14 Januari 2013
Asta Kosala Kosali (Copas dari Babad Bali)
METATAH MASAL DI PURA AMERTA SARI TLOGO SARI SEMARANG
Dalam rangka odalan di Pura Amerta Sari Tlogosari Semarang dilaksanakan juga upacara metatah (mesangih ) masal yang diikuti oleh 28 remaja yang terdiri dari mereka yang berasal dari Bali maupun yang berasal dari Jawa, namun juga diikuti oleh dua orang bapak bapak dari desa Mijen Semarang.
Pelaksanaan metatah ini diprakarsai oleh warga dan Parisada Semarang Timur dan mendapat dukungan penuh dari Parisada Kota Semarang dan segenap warga Hindu yang ada di kota Semarang.
Pelaksanaan metatah dipimpin oleh Ida Pedanda Ratu Gayatri dari Boyolali, sementara sangging / tukang potong gigi mendapat bantuan dua (2) sangging dari Dirjen Hindu Kementrian Agama Jakarta, sehari sebelum hari H (Kuningan / odalan) dilaksanakan Raja Sewala.
Acara potong gigi berlangsung kidmat dan lancar, dimana dalam pelaksanaannya dihadiri juga oleh warga Hindu asal; Singorojo, Kendal. mereka sangat antusias mengikuti serta menyaksikan upacara potong gigi ini, mungkin bagi mereka hal ini merupakan pertama kali menyaksikan secara langsung upacara seperti ini, dan banyak dari mereka meminta agar nanti bisa diselenggarakan lagi sehingga mereka bisa ikut dalam upacara potong gigi seperti ini.
Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi (Copas dari Babad Bali)
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI.
Yang dimaksud dengan
Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih,
yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan.
Yang dimaksud dengan
Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman,
dan jarak antar pelinggih.
Aturan tentang Asta
Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta: Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan
Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah
dikemukakan pada bab: Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak
Padmasana.
Asta Bumi menyangkut
pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut:
HULU-TEBEN.
"Hulu"
artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah
berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua
patokan mengenai hulu yaitu
Mengenai arah Timur
bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas.
Arah kaja adalah letak
gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi
Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur
sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur
laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung
atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka
hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke
arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu
yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun
pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura
adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan
terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran
panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman
seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan
tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan
umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar
menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu:
Ketiga Mandala itu
merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk
segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi
madya mandala dan nista mandala berbentuk lain.
Utama mandala adalah
bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi;
Madya Mandala adalah
bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala;
Nista Mandala adalah
bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista
mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama.
Di Utama mandala
dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana
penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale
pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di
nista mandala ada pelinggih
"Lebuh"
yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan
lain misalnya parkir, penjual makanan, dll.
Batas antara nista
mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara
madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan
nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan
jalan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah
gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal
sebagai berikut: 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu
dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as"
pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau
satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan
gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah
yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu
halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah
utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian
seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk
menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih
yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa",
kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung
tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu
jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan
kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak
dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri)
ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak
yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok
"penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga
menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak
pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup
jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu
juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan
tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang)
menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di
Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG
DIBANGUN. Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di
luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih TAKSU sebagai
niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia
kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH
sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang
melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain
yang bersifat sebagai penunjang adalah: PIYASAN yaitu bangunan tempat
bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, di mana diletakkan
juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih
memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE
PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum
masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang
dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah
selesai.
Jika ingin membangun
Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat
"turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya
"berjumlah". Turut 3: Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang
Guru atau Tiga Sakti: Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan
oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5: Padmasari, Kemulan
Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih
untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7: adalah turut 5 ditambah dengan
pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang
dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang
Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal
yang selalu berbeda misalnya: lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma
dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta
Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang
Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain
dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi
yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut
9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah
pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang
mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita
(istri Kawitan).
Cara menempatkan
pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, di mana yang
diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di
teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di
atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka
letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri
dan keteben kanan.
Sumber: Bhagawan Dwija
Ida Pandita Nabe Sri
Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan
Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja - Bali. Telpon: 0362-22113, 27010. HP
081-797-1986-4
|
||||||||||||||||
Bangunan diproses penjiwaannya sebagai suatu
kelahiran ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan
kehidupan. Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan
antara bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Membangun Pura dengan Kesadaran Mendasar
Oleh N. Gelebet
Menyukuri
kesejahteraan karunia Hyang Widhi, dibangunlah pura sebagai tempat pemujaan
dalam manifestasinya, spirit geginan dan roh leluhur yang diharapkan menyatu
dengan-Nya untuk kerahayuan jagat. Pembangunan tempat pemujaan berkembang
dari seonggok batu untuk panjatan memuja yang di langit, meru bayangan
gunung, padma kemanunggalan dan kini penampilan jamak semarak dengan
kemanjaan teknologi.
Kesadaran mendasar
dalam membangun pura memang seharusnya melestarikan landasan konseptualnya.
Peranan dinas, instansi yang mengambil alih peran krama, dengan pengalihan
hak atas bukti pura dan kebijakan meniadakan prosesi pratima yang ditinggal
krama yang tidak lagi ngayah kini tanpa karang ayahan, merupakan gejala
kesadaran palsu yang terjadi dalam beberapa kasus.
Proses Membangun Pura
Berawal dari nyanggra
pengempon, pengemong dan penyiwi, dilanjutkan dengan nyanyan dialog ritual
dengan sesuhunan yang distanakan di pura yang dibangun. Tujuannya, untuk
mendapatkan kesepakatan atas kesepahaman sekala-niskala apa dan bagaimana
membangun pura. Kemudian dengan penetapan program dan penjadwalannya sesuai
subadewasa dilakukan nyikut, ngruak karang dan nyangga ngurip gegulak,
ngadegang sanggar wiswakarma. Keberadaan gegulak dipandang sebagai acuan
hidup modul pendimensian, setelah melalui ritus pengurip dan pengaci,
nantinya wajib di-pralina setelah bangunan selesai di-plaspas. Dengan
penjiwaan sejak awal, keseimbangan atma, angga lan khaya wewangunan dapat
terwujud.
Selanjutnya ngelakar
sesuai keperluan dan ketentuan penggunaan bahan untuk bangunan pura yang
masing-masing peruntukannya (parahyangan, pawongan, palemahan) ada ketentuan
jenis kayunya. Di mana dan bagaimana mendapatkannya, melalui permakluman atau
permohonan di ulun tegal yang mewilayahi. Pantangan kayu tumbuh di sempadan
sungai, setra, di batas, rebah tersangkut, melintang jalan, tunggak wareng
dan lainnya wajib ditaati sebagai suatu keyakinan.
Pekerjaan komponen
konstruksi dilakukan di jaba sisi pura atau di suatu tempat yang wajar.
Pelaku tukang wajib menaati tata cara kramaning tukang sesuai ketentuan dan
arahan undagi manggalaning wewangunan. Dalam proses pengerjaan, setiap tahap
tertentu melalui ritus upakara yang dipimpin undagi, tan keneng cuntaka,
namun wajib menaati brata ke-undagi-an. Dalam menjalankan profesinya, undagi
atas nama (ngelinggihang) Hyang Wiswakarma. Keberadaannya serentak menyandang
kapican, kawikon dan katakson, bagi undagi yang telah menjalani prosesnya
sesuai ketentuan tatwa, jnana dan upakara.
Bahan bangunan, tukang
dan pekerja mengutamakan dari wilayah sekitar. Peranan teknologi bukan hal
yang ditabukan. Menghindari pelaksanaan sistem tender yang sulit
dipertanggungjawabkan secara kualitas, legalitas ritual maupun proses
penjiwaannya. Dengan diabaikannya filsafat, konseptual dan tatwa acuan tata
cara membangun pura, sulit diharapkan unsur penjiwaannya sehingga megah
maraknya bangunan pura yang kini diwacanakan sebagai kehampaan tanpa taksu
karismatis.
Pemugaran Pura-pura
kuno yang menggusur katakson-nya batu-batu nunggul megalitikum, mengembangkan
belasan pelinggih sepertinya mengalami kemunduran monis yang dikembalikan ke
polis. Memang berpeluang untuk tampil megah meriah di kulit luar, namun hampa
tanpa magis power yang menjiwai.
Pembangunan pura tanpa
pedoman Asta Kosali, tanpa acuan gegulak modul dimensi, cenderung tampil
sebagai bangunan rekreasi berlanskap buatan berornamen mengada-ada.
Pekerjaan Konstruksi
Setelah nyanggra,
nyanjan, nyikut dan nglakar, pekerjaan konstruksi dilanjutkan dengan ngaug,
ngakit dan ngasren yang diakhiri dengan ngurip/melaspas dan ngenteg linggih
dengan rangkaiannya sesuai tingkatan, runut dan runtutannya yang rumit.
Peranan undagi dari tahap 1 s.d. 8 dalam satu paket: atma, angga, khaya
seutuhnya sesuai ketentuan khusus Asta Kosali yang sulit dipahami profesi
lain.
Kemudian ngenteg
linggih berdasarkan tegak wali manut tengeran, sasih atau wewaran (solar,
lunar atau galaxy system). Pelaksanaannya sesuai ketentuan dudonan upacara
dengan upakara dan pamuput-nya masing-masing. Peranan undagi dalam rangkaian
yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat ini, sebatas pengamatan uji fungsi
apakah semua unit, bagian dan komponen sudah berfungsi sesuai dengan hakikat
akidah ruang ritual yang direncanakan.
Pekerjaan konstruksi
ngaug sunduk saat posisi matahari di mana bayangan garis atas lubang depan
berimpit dengan garis bawah lubang belakang adalah saat tepat yang
ditetapkan. Posisi ngaug betaka beti meru, pancung ngakit atap limasan
nasarin dan mendem pedagingan adalah ritus-ritus yang diyakini sebagai
penjiwaan yang mampu mengantisipai ancaman bencana gempa, petir dan badai
angin ngelinus puting beliung. Dengan kemampuan tahan bencana menjadikan
karisma taksu suatu bangunan semakin diyakini keunggulan kebenarannya yang
memang terbukti dalam kajian arsitektural tradisional.
Ngasren wewangunan
(pekerjaan finishing) tidak dibenarkan dengan menghilangkan sifat-sifat
fisis, chemis dan karakter estetika bahan alami yang membawa keindahan alami
kodrati. Pewarnaan justru merusak di saat usangnya yang semakin parah
manakala perawatan diabaikan.
Ngurip Wewangunan
Prosesnya sejak awal,
ngruak karang alih fungsi dari karang tegal menjadi karang wawangunan atau
mandala pura. Ukuran pekarangan dengan pengurip asta musti, ukuran halaman
dengan pengurip tampak ngandang, ukurang bangunan dengan pengurip nyari,
guli, guli madu, useran jari, dan bagian-bagian dari modul dimensi tiang.
Tata letak dengan urip pengider, urip perwujudan, pengurip perwujudan,
pengurip gegulak, urip dina wawaran dan urip pengurip-urip pemakuh. Makna
pengurip wewangunan saat melaspas adalah menghidupkan dengan penjiwaan
sebagai bangunan sesuai namanya.
Bahan-bahan bangunan
telah dimatikan saat pengadaannya menjadi bahan bangunan. Saat upacara
melaspas, jiwanya dikembalikan ke asalnya masing-masing. Dilakukan upacara
peleburan dan dihidupkan (ngurip) dengan fungsi baru yang namanya bangunan.
Bangunan inilah yang kemudian diproses penjiwaannya sebagai suatu kelahiran
ke bumi dengan upakara sebagaimana layaknya suatu kelahiran dan kehidupan.
Upacara ngulihin karang adalah suatu upakara semacam dikawinkan antara
bangunan dengan pemilik-pemakainya.
Klasik, etnik dan unik
memang, namun itulah pengurip penjiwaan sepanjang proses membangun. Bagi
pandangan sekuler tentunya sebagai sesuatu yang berlebihan, mitos dan dogma
yang dipandang sebagai pemborosan sia-sia.
Benarkah dengan
diabaikannya ritus pengurip menyebabkan terjadinya pembangunan tanpa taksu
yang semarak dalam fisik namun hampa dalam kejiwaannya? Bagaimana mungkin
penjiwaan terjadi dalam pembangunan tanpa peran undagi, tanpa gegulak, yang
dibangun dengan sistem tender.
Raibnya bukti pura,
ditinggalkannya ayahan pratima dan menipisnya peranan krama, dapat memicu
terjadinya kesadaran palsu membangun pura sistem proyek yang ditenderkan.
Sumber: Terimakasih
kepada Bali Post
|
||||||||||||||||
|
DAFTAR HARI RAYA AGAMA HINDU
Hari raya dalam agama Hindu
Penanggalan
|
Hari
|
Keterangan
|
Januari
|
Siwa Ratri
|
|
Januari dan Agustus
|
||
Januari dan Agustus
|
Pagerwesi
|
sesudah Saraswati
|
Januari atau Februari
|
||
Maret dan Oktober
|
||
April dan November
|
seminggu sesudah Galungan
|
|
Maret
|
Tawur Kesanga
|
sebelum Nyepi
|
Maret
|
||
Maret
|
Ngembak Geni
|
sesudah Nyepi
|
Oktober atau November
|
|
Langganan:
Postingan (Atom)