Selasa, 18 November 2014

AGAMA HINDU DAN BUDAYA

Agama Hindu Dan Budaya Lokal

Jika kita perhatikan sejak perkembangan Agama Hindu baik itu di India maupun di Indonesia selalu kita temukan adanya kesamaan  yaitu adanya budaya lokal yang terkandung di dalamnya, contoh bagaimana reketnya hubungan Agama dengan budaya itu baik itu dalam purana purana yang ada yang bias kita saksikan dalam tayangan film Maha Barata, Ramayana, maupun Maha Dewa, dimana kita dapat saksikan kentalnya budaya India disana.  Bisa kita lihat bagaimana upacara-upacara dilaksanakan dengan nuansa India, sementara demikian juga kita lihat Umat Hindu yang ada di Pulau Dewata ini, betapa kentalnya budaya Bali didalam setiap pelaksanaan upacara yang dilakukan.
Dari sejarah perjalanan Agama Hindu di Indonesia dapat kita ambil hikmahnya sekarang, bila mana Budaya itu di hancurkan akan disertai hancurnya Agama Hindu.
Bisa kita lihat dalam sejarah Majapahit dimana sebelum ada kepercayaan lain masuk ke Majapahit Agama Hindu hidup subur di sana, tapi begitu ada kepercayaan lain masuk dan menggunakan politik dengan merusak tatanan masyarakat (budaya yang ada dalam masyarakat itu) maka dengan mudah mereka menguasai umat Hindu di sana dan mengalihkan kepercayaan mereka.
Kiranya apa yang ada dan hidup di Bali sekarang ini dapat kita pertahankan, karena terbukti budaya Bali dapat mempertahankan kepercayaan masyarakat  Bali untuk tetap memeluk Hindu.
Demikian juga halnya dapat kita terapkan kepada saudara saudara kita yang ada di luar Bali, biarkan mereka melaksanakan upacara upacara  Hindu sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerah mereka, dengan demikian kita berharap keyakinan mereka tidak goyah, hal ini saya sampaikan di sini karena ada sebagian orang orang kita yang dari Bali ingin melaksanakan upacara Hindu di Jawa atau di lain daerah dilaksanakan seperti di Bali, hal ini bisa  bisa jadi boomerang buat kita yang lagi menggali kantong kantong Umat Hindu dipedalaman Pulau Jawa dan pulau pulau yang lainnya yang ternyata masih banyak walau ada yang belum berani menunjukkan jati dirinya karena berbagai alasan.

Kiranya demikian pula dengan di Pulau Dewata ini ada sebagian dari kita yang ingin memasukkan budaya luar ke Pulau Bali ini, bila hal ini dibiarkan kemungkinan bisa merusak minimal mempengaruhi tatanan yang sudah ada selama ini di Bali. Kalau hanya masalah aliran atau ajaran yang mereka bawa dari India itu sih nggak jauh berbeda dengan yang ada di Bali cuma cara/budaya/tatanan yang mereka ikutkan dalan ajaran itulah yang menjadi kekhawatiran kita saat ini (saya tidak mau menyebutka aliran atau ajaran tersebut… mungkin sebagian kita sudah mengetahuinya).


Foto Saya


Delem Punyah

Kamis, 22 Mei 2014

YADNYA

YADNYA


 
VI.3. Persiapan Nangun Yadnya.
Bukti Kebersamaan Masyarakat Payogan dan wilayah sekitarnya sangat terlihat dengan jelas terutama di dalam kebersamaan melaksanakan dan mengamalkan Panca Yadnya serta mengupah ayu kawasan dan keselamatan masyarakatnya. Semua warna, klan dan treh telah menjadi krama desa adat yang merupakan suatu persekutuan hukum berdasarkan Tri Hita karana. Seperti juga halnya dengan pelaksanaan karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan di Pura Desa lan Puseh Payogan, meski merupakan amongan Desa Adat Payogan, namun dalam persiapan upacara yang besar ini dibantu juga oleh Desa Adat disekitarnya, sebagai wujud nyata rasa kebersamaan, antara lain : Desa Pakraman sedesa Kedewatan, Desa Pakraman ”Amunduk Taro”, Gerih Abiansemal, Gerih Negara(Batuan),Desa Pakraman Pangaji, Pura Penataran Banjar Badung Payangan dan seluruh masyarakat Ubud. Semua desa-desa adat tersebut mempunyai kaitan dan sejarah yang sangat erat satu dengan yang lainnya, rasa persatuan itu terpelihara hingga saat ini berkat peranan Angga Puri Agung Ubud yang selalu mendambakan persatuan untuk masyarakat Ubud.Warisan budaya dan ikatan spiritual dalam beryadnya di Ubud sangat perlu dilestarikan untuk menciptakan Ubud yang Damai berkeTuhanan.

VII.1. Hakekat Yadnya.
Bhagavadgita III.14 menyatakan bahwa “Yadnya berasal dari karma”.  Ini berarti bahwa dalam yadnya perlu adanya kerja, karena dalam yadnya menuntut adanya perbuatan. Tuhan  menciptakan alam beserta isinya diciptakan dengan yadnya maka patutlah manusia pun melaksanakan yadnya untuk memelihara kehidupan didunia ini. Tanpa adanya yadnya maka perputaran roda kehidupan akan berhenti.
Karena yadnya berasal dari karma dalam dalam pelaksanaan yadnya pun terkait dengan perbuatan maka Yadnya termasuk Karma kanda atau karma sanyasa atau prawerti atau jalan perbuatan. Ini berarti bahwa yadnya merupakan salah satu bentuk penerapan ajaran Agama Hindu dengan cara melakukan perbuatan. Artinya ajaran Weda dapat diaplikasikan dengan melaksanakan yadnya yaitu dengan  melakukan persembahan atau pemujaan kehadapan Ida Hyang Widdhi Wasa
.
*) Foto (Th 2009)   Mangku lanang, Desa, Dalem, Puseh.

Sesungguhnya yadnya tidaklah hanya dalam bentuk Ritual atau melaksanakan upacara keagamaan saja, tetapi dapat pula dilaku kan dengan melaksanakan perbuatan yang didasari atas hati yang tulus dan ikhlas. Sehingga dengan demikian maka dapat diartikan bahwa Yadnya merupakan segala bentuk pemujaan atau persembahan dan pengorbanan yang tulus iklas yang timbul dari hati yang suci demi maksud-maksud mulia dan luhur.
Bila dilihat dari berbagai pelaksanaan yadnya, sesungguhnya di dalam yadnya terdapat beberapa unsur yang pasti ada. Unsur-unsur mutlak dalam yadnya yaitu: karya (kerja), sreya (ketulusan), budhi (kesadaran), bhakti (Persembahan).
Unsur karya yang terdapat dalam yadnya dapat dilihat bahwa setiap yadnya yang dilakukan adalah dengan perbuatan atau kerja. Unsur Sreya (ketulusan) pada yadnya yaitu bahwa dalam setiap yadnya selalu berdasarkan kerja dan ketulusan.
Bhagavadgita III.9 menyatakan bahwa :
para dewa akan memelihara manusia dg memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yg mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dg yadnya pada hakekatnya dia adalah pencuri”.

*) Foto (Th 2012)   Jero Mangku Sari
 (Pamangku Tangkas Kori Agung di Payogan)


*)Foto (Th 2012)   Jero Mangku Dalem, Pura Wang Bang Pinatih Di Payogan.


Ini berarti bahwa antara manusia dengan para dewa harus ada hubungan yang harmonis sehingga terwujud suatu kebahagiaan. Sebagai manusia yang diberikan kelebihan dari mahluk ciptaannya yang lain yaitu idep (pikiran), seharusnyalah manusia bisa mengucapkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada Tuhan atas segala kebahagiaan yang ia rasakan melalui pelaksanaan yadnya. Bila manusia tidak pernah bersyukur artinya bahwa manusia ini adalah seorang pencuri.

Selanjutnya Sri Kresna bersabda yaitu:
orang yang terlepas dari dosa adalah orang yang makan sisa dari persembahan atau yadnya”.
Ini berarti bahwa dalam kehidupan ini manusia harus senantiasa menikmati makanan hasil persembahannya kepada Tuhan. Bilamana manusia memakan yang bukan hasil persembahan pada Tuhan berarti dia memakan dosa. Agar terhindar dari dosa itu, manusia sebelum makan haruslah mempersembahkannya terlebih dahulu pada Tuhan. Sehingga makan hasil persembahan yang dimakan adalah anugerah dari Tuhan yang disebut dengan “Prasadham

*) Foto (Th 2012)   Jero Mangku Istri, Pura Desa,Pura Puseh, Pura Sari
dan Pura Dalem Desa pakraman Payogan

yang istilah balinya disebut dengan Lungsuran”. Yadnya Sesa (matur saiban) merupakan salah satu bentuk yadnya yang dilakukan sehari-hari setelah memasak. Setelah memasak hendaknyalah kita menghaturkan sedikit dari masakan itu pada Tuhan sehingga masakan yang dibuat dapat dikatakan sebagai anugerah dari Tuhan.
Dalam Atharwa veda XII.1 dikatakan bahwa :
yadnya merupakan salah satu pilar penyangga tegaknya kehidupan di dunia ini”.
Artinya :

Jadi bilamana yadnya tidak dilakukan lagi akan menjadikan alam beserta kehidupannya tidak akan dapat berlangsung.
VII.2. Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Pedanan, Dan Ngusaba Desa Ngusaba Nini Di Desa Pakraman Payogan, Buda Wage Mrakih, Sasih kalima Tahun Saka 1934, Tanggal 17 Oktober 2012.
Persembahan Karya Agung Ngusaba Desa Dan Ngusaba Nini Di Desa Pakraman Payogan, merupakan ungkapan terima kasih, yakni astiti bhakti warga Desa Pakraman payogan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berpijak pada ajaran-ajaran agama, terutama ajaran sastra dari Widhi Sastra dan Sri Tattwa, juga beberapa sastra pendukung lainnya, seperti Bhama Kertih, Gong Wesi, Kramaning Anangun Kayangan, Lontar Pangusabha dan lain-lain. Ngusabha berasal dari Bahasa Sanskerta dengan kata dasar Utsava atau Utsawa dalam Bahasa  Jawa Kuno. Dalam Bahasa Bali menjadi Usaba atau Ngusaban yang berarti menyiapkan perjamuan. Bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, serta memohon anugrah Beliau untuk senantiasa memberikan kedamaian dengan terpeli haranya unsur Panca Maha Bhuta, yang menjadi dasar kehidupan masyarakat. Tingkat karya Agung ini adalah merupakan tingkatan yang sangat utama pada tingkatan Pura kayangan Tiga, yang biasa dilaksana kan dalam kurun waktu 15 tahun atau 25 tahun sekali. Juga ditunjang oleh kemampuan desa pakraman yang bersangkutan.
Dengan ehed karya mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Pedanan, diawali dengan pemujaan atau persembahan Muktyaning karya dirangkai dengan Karya Makebat daun.Upacara Mamungkah dilaksanakan dilaksanakan berkaitan dengan perbaikan beberapa pelinggih di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Payogan.

*) Foto((Th 2012)  Prajuru,  Kelihan Adat, Kelihan Dinas,
Bendesa Desa Pakraman Payogan

Semua rangkaian upacara dan upakara berdasarkan tuntunan dari Yajamana Karya, Ida Peranda Giriya Aan Klungkung, dan Maha Tapini, Ida Peranda Giriya Ketewel serta Pengrajeg Karya Pengelingsir Puri Agung Ubud.

VII.3. Ehedan Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Pedanan, Dan Ngusaba Desa Ngusaba Nini Di Desa Pakraman Payogan, Buda Wage Mrakih, Sasih kalima Tahun Saka 1934, Tanggal 17 Oktober 2012.
Untuk lebih mengetahui dan menghayati jalannya upacara, tidak ada salahnya diketahui juga makna dan arti rangkaian upacara, antara lain :
VII.3.1. Matur Piuning.
Upacara Matur Piuning dilaksanakan sebagai permakluman kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa dalam manifertasi Beliau yang berparahyangan di wilayah Ubud, bahwa di Pura Desa lan Puseh Payogan akan dilaksanakan Karya Agung Ngusaba Desa dan Ngusaba Nini, dengan harapan Ida sang Hyang Widhi Wasa memberikan tuntunan dan kerahayuan, sehingga Karya Agung yang akan dilaksanakan berjalan dengan baik. Upacara matur Piuning dilaksanakan di Pura Kayangan Tiga, Pura Melanting, Pura Ratu Ngurah Sakti Agung, dan pura-pura terkait lainnya.
VII.3.2. Nyukat Genah dan Nanceb Sanggar.
Acara Nyukat Genah dan Nanceb Sanggar Tawang dilaksanakan di Pura Desa lan Puseh Payogan, secara niskala bertujuan membuat batas yang jelas antara parahyangan dengan tri mandalanya
.
*) Foto ( Tahun 2012 ) Ida Peranda dari Giriya Aan Klungkung sebagai Wiku Yajamana, didampingi Para Pengelingsir  Puri Agung Ubud, sebagai Pengerajeg Karya.

VII.3.3. Nunas Jatu dan Mendak Tirta.
Nunas jatu dilaksanakan ke Puri Tampaksiring, dilakukan oleh perwakilan krama Desa Adat Payogan. Acara mendak tirtha dilaksanakan kemudian, antara lain mendak tirtha Empul di Pura Tirtha Empul, Tirtha Salukat di Pura Salukat, Mendak tirtha dan Pasir Segara di Segara Purnama, serta mendak tirtha Sidakarya di Pura Sidakarya, masing-masing dilaksanakan oleh Perwakilan Krama Desa Adat, dipimpin oleh para Pemangku kayangan.

*) Foto ( Tahun 2012 ) Ida Pedanda Istri sebagai Wiku Tapini
Dan Penglingsir Puri Ubud
VII.3.4. Nuasen Karya.         
Acara Nuasen Karya dilaksanakan dengan runtutan acara lainnya, seperti : Negtegang, Nyuci, Ngingsah, Nyangling, Mekarya Sanganan, Nyengker Setra, Ngadegang Sang Hyang Tapini, Ngadegang Sang Hyang pengemit Karya, Ngadegang Rare Angon, Ngadegang Sunari, Pindekan, Kulkul, dan Kungkungan Nyawan. Juga dilaksanakan Yasa Kerti oleh krama Desa Pakraman. Rangkaian upacara diatas dipuput oleh Ida Peranda Giriya Padang Tegal BaleranIda Peranda Istri Giriya KetewelIda Peranda Istri Giriya Padang Tegal Baleran.

*) Foto (Th 2012) Ida Pedanda Giriya Padang Tegal Baleran Ubud
Dalam  Prosesi Karya Nuasen


*) Foto(Th 2012)   Prosesi Karya Ngingsah

Mendak Tirtha dilakukan di Pura Kayangan Jagat Bali dan Jawa, antara lain Di Pura Gunung Raung, Pura Semeru, Pura Bromo, Pura Penataran Agung Besakih, Tirtha Tunggang Besakih, Tirtha Pura bangun Sakti Besakih, Tirtha Sudamala Dalem Puri Besakih, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Nataran Peed, Pura Ulun Danu Batur, Pura Jati, Pura Danu Tamblingan, Pura Mlanting dan Pura Batukaru.
VII.3.5. Mendak Tirtha Kayangan jagat.
Upacara Mendak Tirtha disebut juga Upacara Nuhur Ida Bhatara Tirtha, mengundang prabawa Ida sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Ista Dewata yang melingga melinggih di pura-pura kayangan jagat di Jawa dan Bali. Dengan harapan melalui tirtha yang dipendak, Beliau berkenan turun dan  bersetana di sanggar tawang selama  upacara berlangsung.


*) Foto (Th 2012)   Prosesi Mendak Tirtha


*) Foto (Th 2012)   Prosesi Mendak Tirtha di Jawa

Mendak Tirtha dilakukan di Pura Kayangan Jagat Bali dan Jawa, antara lain Di Pura Gunung Raung, Pura Semeru, Pura Bromo, Pura Penataran Agung Besakih, Tirtha Tunggang Besakih, Tirtha Pura bangun Sakti Besakih, Tirtha Sudamala Dalem Puri Besakih, Pura Lempuyang, Pura Andakasa, Pura Nataran Peed, Pura Ulun Danu Batur, Pura Jati, Pura Danu Tamblingan, Pura Mlanting dan Pura Batukaru.
VII.3.6. Mlaspas Dan Mendem Pedagingan.
Upacara Melaspas bertujuan mensucikan bangunan agar dapat menstanakan Ista Dewata, menyatukan sekala dan niskala. Unsur-unsur sekala adalah bangunan suci, dan unsur niskala adalah Sanghyang Widhi atau Ista Dewata.
*)Ida (Th 2012)   Pedanda Giriya Santian Ubud,Ida Pedanda Giriya Padang Tegal Baleran Ubud, dan Ida Pedanda Giriya Aan Klungkung, saat Muput di Bale Agung Payogan.

Upacara Melaspas  bermakna upacara yang bertujuan membersih kan dan menyucikan bangunan yang baru selesai  dibangun atau dibuat atau baru ditempati kembali, untuk pembangunan tempat suci palinggih atau istana Dewa, Bhatara serta Dewa Pitara atauHyang, upacara Melaspas dilanjutkan dengan Ngenteg Linggih.

*) Foto (Th 2012)  Prosesi Mendem Pedagingan

Mlaspas  dalam bahasa Bali nya terdiri dari dua rangkaian kata Mlas artinya Pemisahsedangkan Pas artinya Cocok, jadi kalau di jabarkan atau uraikan Melaspas adalah pembuatan bangunan terdiri dari dua unsur yang berbeda (kayu dan batu), lalu di satukan terbentuklah bangunan yang cocok atau layak untuk di tempati atau didiami.Sementara upacara Mendem Bagia mempunyai arti bahagia; palakerti artinya hasil dari karma (perbuatan). 

*) Foto (Th 2012)   Para Pengelingsir Puri Ubud  dan Peliatan dalam Prosesi
Mlaspas dan Mendem Pedagingan

Isi Bagia palakerti adalah berbagai hasil bumi: buah-buahan dan umbi-umbian (pala gantung dan pala bungkah). Bagia-palakerti ditanam di tanah bertujuan untuk memohon pahala yang baik kepada Sang Hyang Widhi. Diawali dengan Tawur Rsi Ghana dan Caru Ayam Manca.

*) Foto (Th 2012)  Ida Pedanda Giriya Santian Ubud, Ida Pedanda Giriya Tegal Jingga Badung dan Ida Pedanda Giriya Padang Tegal Baleran Ubud, saat Muput di Jeroan Pura Desa Lan Puseh Payogan.

VII.3.7. Melasti.
Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata: Mala artinya Kekotoran atau Noda;Asti artinya Dibuang. Jadi Melasti yang asalnya mala-asti, artinya menghanyutkan kekotoran.

 
*) Foto(Th 2012)  Pengelingsir Puri Ubud bersama Manggala Desa dan Krama Desa Payogan saat Prosesi Mlasti di Segara Purnama, Sukawati.

Upacara melasti dilakukan di laut, karena kegiatan melasti meliputi dua tujuan, yaitu: menghilangkan kekotoran, dan memohon tirtha amertha kamandalu, yakni tirtha suci yang diyakini membawa kesucian, kebaikan, kemakmuran, dan kejayaan atau umur panjang. Yang dimaksud dengan tirtha amerta kamandalu, adalah air dari tujuh buah sungai suci di India, di mana Weda diwahyu kan oleh Sang hyang Widhi melalui tujuh Maha Rsi (Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa). Sungai-sungai itu adalah: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godhawari, Narmada, dan Sarayu.
Oleh karena kita tidak mungkin pergi ke India setiap saat untuk melasti, maka dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu bermuara ke laut, dan laut di dunia menyatu, maka diyakini laut di selatan India sebagai muara sungai-sungai suci yang telah mengandung unsur-unsur kesucian, sama dengan laut di mana saja.

 
*) Foto (Th 2012)   Krama Desa Payogan Mundut Tapakan dan Arcana Widhi
 saat Prosesi Mlasti Di Segara Purnama Sukawati.

*) Foto (Th 2012)  Krama Desa Payogan Mundut Tapakan dan Arcana Widhi
 saat Prosesi Mlasti Di Segara Purnama

*)Foto (Th 2012) Prosesi Mendak Bagia

VII.3.8. Pedanan, Mepada Agung dan Puncak Karya.
Ketiga runtutan upacara ini adalah upacara pokok dalam kaitan upacara Karya Agung Mamungkah, Mupuk Pedagingan, Tawur Pedanan, Ngusaba Desa Dan Ngusaba Nini Di Desa Pakraman Payogan, Buda Wage Mrakih, Sasih kalima Tahun saka 1934, 

*)Foto (Th 2012) Para Uleman Pesaksi Pedanan Di Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman Payogan

Tanggal 17 Oktober 2012. Setelah prosesi upacara ini, masih ada ehedan uacara lain, seperti, ngayarin, Ngelemekin, Bangun Ayu, Mekebat daun, Rsi Bhojana, Nyenuk, Nyineb, Nuwek Bagya, Nyegara Gunung dan ditutup dengan acara upacara satu bulan tujuh hari. Dengan Berakhirnya ehedan karya diatas, selesailah sudah prosesi upacaraKarya Agung Ngusaba Desa Dan Ngusaba Nini Di Desa Pakraman Payogan.


Foto (Th 2012) Para Uleman Pesaksi Pedanan Di Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman Payogan
*)Foto (Th 2012) Suasana ngelungsur piranti Pedanan
Di Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman Payogan


 
*)Foto (Th 2012)( Puncak Karya ) Ida Ratu Turun Kabeh, Tedun ke Bale Peselang
Di Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman Payogan


*)Foto (Th 2012)( Puncak Karya ) Ida Ratu Turun Kabeh, Tedun ke Bale AGUNG
Di Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman Payogan

 
 *)Foto (Th 2012)( Puncak Karya ) Mepasar
Di Pura Desa Lan Puseh Desa Pakraman Payogan


Desa Pakraman Bajar Payogan, masyarakatnya akan selalu mengadakan ( melakukan ) Upacara, Piodalan pada masing - masing Khayangan  dan ada Hari  waktunya seperti :

1       Pura Khayangan Tiga :
  • Pura Desa / Bale Agung, di hari Buda Wage Merakih
  • Pura Puseh, di hari Buda Wage Merakih, dan semijile di hari Buda Wage Warigadian
  • Pura Dalem, di saat Tilem wusan Tumpek Kuningan nemu Penanggal gasal, ping 3,5,7 nemu Kajeng
2       Pura Prajapati, di saat Tilem wusan Tumpek Kuningan nemu Penanggal gasal, ping 3,5,7
         nemu Kajeng
3       Pura Melanting, di hari Buda Wage Klau
4       Pura Palinggih Ratu Ngurah Sakti Agung, di saat Manis odalan ring Dalem
5       Pura Dadia Pasek Bendesa Tangkas Kori Agung, di hari Anggara Kasih Julungwangi
6       Pura Dadia Dalem Natih, di hari Buda Wage Menail
7       Padmasana Bale Banjar / Catur Bhuana, di hari Tumpek Wayang
8       Nebasan ( Ratu Gede,  Ratu Ayu Lingsir, Ratu Ayu Alit, Ratu Ayu Mas Alit ) : Buda Keliwon
         Pegatuwakan

Pengacian (Piodalan) bejalan sesuai dengan sastra Agama, dan dilaksanakan nista madya utama sesuai dengan perareman juga di lakukan enem sasih apisan alit, enam sasih apisan ageng.

LONTAR MPU LUTUK

Upakāra Yang Dipakai Secara Rutin, Manut Kecap Lontar Mpu Lutuk Lan Lontar Sundari Gama

Kapipil Olih: Shri Danu D.P ( I Wayan Sudarma)


1. HANGKEN MASAIBAN Babanten: ngayat rikale wusan meratengan, antuk ajengan lan saruntutannya saha ngangga dupa/asep, genahe mebanten ring palinggih-palinggih pamekas ring Ide Hyang Brahma, Visnu, Hyang Sri, Bhatara Guru, miwah sane lian-lianan; patut kalaksana yang satunggil wuwusan meratengan, mesaiban dumun wawu raris dados mejengan, ngangge mantre: OM SANG BHUTA PRETHA YA NAMAH
2. HANGKEN KLIWON: Maturan ring genah-genah suci : canang genten lemgawangi, canang sari. Mesegah kepelan putih, ring natar merajan, katur ring Bhuta bucari, ring natar pekarangan mesegah pateh katur ring Sang Kala Bhucari, ring dengen/lawang taler mesegah pateh katur ring Hyang Dhurga Bhucari.
3. HANGKEN KAJENG KLIWON: Mesegeh kepelan warna tiga (putih, barak, selem), genahe masegeh pateh kadi nuju kaliwon, maweweh maturan ring palinggih-palinggih pengijeng sane wenten.
4. HANGKEN PURNAMA: Maturan ring Hyang Ratih : yan nuju sasih karo, Kasa, Katiga, Kalima, Kaenem, Kapitu, Kawulu, Kasanga, Jyestha, Sadha: Canang genten, lengawangi-buratwangi, canang sari, canang pareresikan, canang payasan, masegeh segehan kepelan putih .Muang yan sasih kalima maweweh maturan penek kuning lan cangan raka. Masegeh cacahan putih, utamannya antuk segehan agung, genahe masegeh patah kadi ring ajeng, maweweh ring kahyangan-kahyangan manut amongan.
5. HANGKEN TILEM: Yang nuju sasih kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kadasa, Jyestha muang Sadha, maturan ring Hyang Surya: Canang genten lengawangi-buratwangi, cangan sari pabersihan, canang payasan, penek kuning, cangan raka, yan nuju sasih Kaenem aturane maweweh : manut onggahan ring bhuta-yajña.
6. HANGKEN TILEM KAPITU: Siva Ratri sajabaning kadi ring ajeng, mawuwuh maturan pangabaktian ring Ida Hyang Siva saha upakāra : sekar bang putih ireng lan kawangen majinah 11 medaging daun bila 6 bidang.
7. HANGKEN TILEMING SASIH KAENEM, KAWULU: Sinalih tunggil ring Tilem inucap, ngawentenang Bhuta yajña, sane mawasta nanggluk merana, nganggen caru sakasidan, maka serana nunas karahajengan sajeroning kahuripan lan selanturnya, pangastawa ring Hyang Ludra maweweh suci asoroh jangkep lan sesayut-sesayut byakala.
8. HANGKEN TILEMING KASANGA: Ngelaksanayang tawur Kasanga paling alit antuk caru manca sato, tan sejeroning dese pakarangan manut sakasidan desa punika, ring pakarangan masegeh kepelan mawarna tiga, sagehan nasi sasab 108 tanding lan segehan agung ; caru punika katur ring Sang Bhuta Kala, ring Sang Kala Raja, nasi kepel sane mawarna lima, katur ring sang parabalan Sang Bhuta Kala Raja Sari, genah mecaru ring pempatan.
9. HANGKEN PAGER WESI: Maturan ring Hyang Iswara/ring genah-genah suci: canang sari, canang maraka lan sasayut pageh urip.
10. HANGKEN TUMPEK LANDEP: Maturan ring Hyang Pasupati : canang raka, canang sari, sesayut jayeng perang, saha pangodalan senjata minakadi : tumbak, keris miwah sekancan punika.
11. HANGKEN GALUNGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru : canang meraka, canang canang lengawangi-buratwangi, penek, pasucian, sodan, banten guru, lan pasuguh lianan sakasidan, saha memenjor jangkep madaging pala bungkah-pala gantung raka matah-lebeng.
12. HANGKEN KUNINGAN: Maturan ring Hyang Paramestiguru; canang wangi-wangi, canang pasucian, cangan raka, sodan, penek kuning maulam kuning taluh, ring penataran ngaturang segehan ring sang Bhuta Galungan sareng ring para iringan Idane suri, nanging maturan paling lambat tajeg Surya mangda sampun puput. Ring angga sarira natab sesayut prayascita, segehan kuning, panyeneng maka pangenteg bayu – sabda - idep.
13. HANGKEN TUMPEK WARIGA/TUMPEK BUBUH: Maturan ring Hyang Sangkara; canang wangi-wangi, bubuh gendar, peras tepeng raka-raka, panyeneng genahe ngilehang ring tegal ring sawah
14. HANGKEN TUMPEK UYE: Tumpek puniki pawotonan sarwa ubuh-ubuhan ring Hyang Ludra : canang raka, katipat bagia, balayag paneneng, tebusan sida malungguh, sano kawidhi-widananin sakancan ubuhan-ubuhan minakadi :ayam, banteng, paksi, miwah sakancan punika.
15. HANGKEN TUMPEK WAYANG: Maturan ring Hyang Iswara: canang raka, canang wangi-wangi, pasucian, peras ajengan, sasayut pala kerti, sarengang ring pangodalan sarwa tatangguran minakadi : gong, gambang, angklung, wayang, gender miwah sekancan punika.
16. HANGKEN SANISCARA UMANIS WATUGUNUNG: Maturan ring Hyang Saraswati; suci peras daksina, penek, kembang payas, sasayut saraswati, raka-raka, canang wangi-wangi, puniki katur ring pustaka-pustaka ring pangodalan sakasidan.
17. HANGKEN REDITE PAING SINTA/BANYU PINARUH: Maturan ring Hyang Saraswati : asuci laksana, cangan unggahan masirat toya anyar.
18. HANGKEN COMA PON SINTA/COMA RIBEK: Maturan ring Hyang Sriamertha : odalan beras : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tobasan amerta rawuh sai.
19. HANGKEN ANGGARA WAGE SINTA/SABUH MAS: Maturan ring Hyang Mahadeva : odalan sarwa berana : canang burat wangi, canang raka, beras kuning, tebasan bagia satata sai.
20. HANGKEN REDITE UMANIS UKIR: Maturan ring Hyang Guru : canang burat wangi, tebasan pageh urip.
21. HANGKEN ANGGARA KLIWON KULANTIR: Maturan ring Hyang Mahadeva : canang genten, segehan kepel putih, soda putih kuning.
22. HANGKEN ANGGARA KLIWON JULUNGWANGI: Maturan ring Hyang Sri :canang genten.
23. HANGKEN WERASPATI WAGE SUNGSANG/SUCI MANIK JALA: Maturan ring Hyang Pawitra : pararebuan, sodan, canang genten, segehan agung, ring lebuh ring natar pakarangan, ring natar pamrajan segehan cacan.
24. HANGKEN SUKRA KLIWON SUNGSANG/SUCI MANIK BALI : Maturan ring Hyang pawitra : parerebuan, sodan, cangan genten, segehan agung ring lebuh, ring pamarajan ring natar pakarangan segehan cacan.
25. HANGKEN REDITE PAING DUNGULAN/DANYSEEBAN
Maturan ring pemayung ring sang Butha amangku rat, ring sang butha kala dungulan saha Upakāra : segehan manca warna tiga tanding.
26. HANGKEN COMA PAING DUNGULAN/PANYAJAAN GALUNGAN
Maturan ring Hyang Kala tiga : segehan manca warna tiga tanding, genahe maturan ring lebuh, ring natar sanggah, ring natar pakarangan, banten mapamayuh sekadi ring ajeng.
27. HANGKEN ANGGARA WAGE DUNGULAN/PANAMPAHAN GALUNGAN
Maturan ring Hyang Kala tiga,kadi ring ajeng : sodan, pabyakalan, tebasan galungan, panyeneng lan canang gentan.
28. HANGKEN WERESPATI UMANIS DUNGULAN/MANIS GALUNGAN
Maturan ring Hyang Dharma : banten penganyaran, katipat maulam sakasidan, canang genten, genahe maturan ring bale miwah ring pamerajan.
29. HANGKEN SUKERA PAING DUNGULAN/PANGEREBAGAN
Maturan ring Hyang Widhi : suwarnaning katipat maulam sukasidan, canang genten meraka tape.
30. HANGKEN REDITE WAGE KUNINGAN/ULIHAN JAWA
Maturan ring Hyang Pramesti Guru : sodan, segehan cacan, canang genten
31. HANGKEN SOMA KLIWON KUNINGAN/ULIHAN BALI: Maturan ring Htyang Pramwsti Guru : Sang butha Galungan : canang burat wangi, canang genten, sodan, segehan kepel.
32. HANGKEN SUKERA WAGE KUNINGAN/PENAMPAHAN KUNINGAN: Maturan ring sang Kala Galungan : mapasuguh jajaron matah, canang genten, sodan maulam sukasidan.
33. HANGKEN BUDHA KLIWON PAHANG/PEGAT WAKAN
Maturan ring Hyang Licin : canang burat wangi, canang sari, segehan kepel.
34. HANGKEN SUKERA WAGE WAYANG/KALA PAKSA
Maturan ring Maha Kala: Bayakalan Linggian maselat nganggen pandan.
35. HANGKEN BUDHA WAGE KELAWU: Maturan ring Hyang Sedhana, ngodalin seraja Berana : canang lenga-wangi-buratwangi, tebasan bagia sotata suci.
36. HANGKEN SUKRA UMANIS KELAWU: Maturan ring Hyang Sri ngodalin pantun canang burat wangi, pangeresikan, sodan, tebasan amerta rawuh sai. (No.1 s/d 36 bersumber dari Lontar Mpu Lutuk dan Lontar Sundari Gama; Koleksi Pribadi)

======= "sampaikan kebenaran dengan cara menyenangkan jangan menyenangi ketidakbenaran walau itu menyenangkan" =======

SANGGAH GEDE


Om Swastiastu,
Konsep sanggah / merajan adalah konsep agama hindu yang ada di Bali. Andaikata ingin mengikut konsep sanggah / merajan seperti agama hindu di bali, minimal ada tiga sanggah yang disebut dengan tri lingga yaitu Sanggah Kemulan, Anglurah dan taksu. Andaikata hal ini tidak memungkinkan, misalnya saja lahan yang kurang atau biaya yang tidak mencukupi maka cukup dibuatkan Padmasari, sesuai dengan keputusan Parisada Hindu di Bali tahun 1999, yang mana jika situasi tidak memungkinkan maka tempat suci bisa hanya terdiri dari Padmasari saja.
Agama hindu adalah agama yang mengayomi dan mengangkat budaya lokal, konsep sanggah tri lingga merupakan konsep hindu di bali yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan, karena di Bali agama sudah demikian menyatu dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat bali. Tentu di setiap daerah penerapan agama hindu akan berbeda sesuai dengan budaya lokal daerah tersebut, misalnya agama hindu di kaharingan tidak menggunakan sanggah, begitu juga dengan agama hindu di kalimantan ataupun di india, namum pelaksanaan agama hindu tetap mengacu pada nilai - nilai weda dengan implementasi local genius atau kekayaan lokal.
Mengenai upakara yang dihaturkan bentuk canang di bali juga akan berbeda dengan yang di luar bali, kembali pedanda sampaikan ini karena karekter dan kondisi masyarakat bali yang umumnya berjiwa seni sehingga bentuk canang dan upakara yang lainpun cenderung rumit dan artistik. Jika ingin mengikuti konsep hindu di Bali, bisa menggunakan canang sari dengan alas ceper, duras, porosan dan yang lainya. Namun jika budaya lokal di sana mempunyai bentuk canang yang berbeda itu tidak masalah, selama dipersembahkan atas ketulusan hati.
Om Santih, Santih, Santih, Om

Pulau Bali sering dijuluki dengan berbagai-bagai nama oleh wisatawan, di antaranya disebut "Bali, the island of the thousand temples" artinya Bali adalah pulau dengan ribuan buah pura. Kadangkala disebut pula dengan nama pulau dewata atau "the island of Gods" dari beberapa julukan lain yang menarik. Dalam kenyataan memang terlihat banyak pura di Bali dan tersebar di seluruh daerah Bali.
Menurut keadaan tahun 1979 tercatat jumlah pura di Bali 5.259 buah yang terdiri dari 9 buah Kahyangan jagat Bali, Dang Kahyangan 714 buah, Kahyangan Tiga 4.368 buah. Jumlah tersebut tidak termasuk tempat suci pemujaan roh suci leluhur yang disebut Pura Kawitan atau Padadyan. Adanya banyak pura di Bali bukan lah berarti umat Hindu di Indonesia menganut kepercayaan politeistik, melainkan tetap monoteistik karena yang di-stanakan di Pura itu adalah prabawa Hyang Widi sesuai dengan fungsinya.
Kata pura berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng, artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur.
Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang ditemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum ditemukan pada jaman Bali Kuna. Pada prasasti Turunyan AI tahun 891M disebutkan Sanghyang Turun-hyang artinya tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A disebutkan pujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat suci untuk Dewa Karimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dan penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada jaman Bali Kuna yang berlangsung dari kurun waktu tahun 800 - 1343 M dipakai kata Hyang untuk menyebut tempat suci di Bali.
Pada jaman Bali Kuna dalam arti sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja bukan lagi disebut kedaton melainkan disebut pura seperti keraton Dalem di Gelgel Swecapura dan keratonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem berkraton di Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai.
Kendati pun sebagai tempat pemujaan Hyang Widi, tidak lah merupakan tempat yang permanen dari kekuatan suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan atau tempat tinggal sementara, di mana pada waktu hari ulangtahun pura, kekuatan suci akan datang menempati pelinggih- pelinggih yang sudah disediakan di dalam suatu pura. Ketika inilah diadakan kontak antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan suci yang baru turun. Sebagai media menurunkan kekuatan suci tadi ialah pedanda atau pendeta dengan wedanya, selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai penyambutan turunnya kekuatan suci.
Tempat yang abadi dari para Dewa dan roh suci leluhur adalah di gunung, dalam hal ini gunung Maha meru dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhirnya timbul anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga sebagai alam para dewa. Anggapan akan adanya gunung suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-cerita kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti ceritera pemutaran gunung Mandara di Ksirarnawa yang bertujuan untuk mencari Amerta atau air kehidupan. Ceritera yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang mengisahkan pemindahan puncak Gunung Mandara ke Jawa Dwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum stabil. Kepercayaan gunung sebagai alam arwah telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, yaitu pada jaman bercocoktanam dan perundagian. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tempat pemujaan arwah leluhur yang berbentuk punden berundakundak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung pada masa itu dianggap sebagai alam arwah.
Ketika upacara sedang berlangsung umat akan merasa kehadiran yang Maha suci dan menimbulkan rasa sebagai kedatangan tamu suci yang dimuliakan. Timbul lah rasa untuk memberikan rasa bakti atau penghormatan setinggi-tingginya, guna mendapatkan anugrah-Nya, berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan hidupnya. Hal ini merupakan sumber yang menggetarkan jiwanya dan akhirnya menjadi sumber bangkitnya rasa estetika dari umat. Sebagai akibat rasa estetik lalu diikuti dengan ciptaan- ciptaan seninya dalam berbagai-bagai bentuk seperti: seni tari, tabuh, pahat, lukis dan lain-lainnya.
Demikian lah kelihatan hubungan yang erat antara kebudayaan dan agama, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dan ini akhirnya dapat dilihat di pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan hiasan yang serba indah dan cemerlang. Di sini lah terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di Bali mencari akarnya pada agama.
Dari sekian banyak pura yang tersebar di daerah Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para roh suci leluhur dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya dan karakter sebagai berikut
  1. Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widi dan para Dewa seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan jagat.
  2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh suci seperti Paibon atau Dadia, Padarman.
Pengelompokan berdasarkan ciri, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, ekonomi, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan genealogis adalah atas dasar garis kelahiran.
Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut di atas maka terdapat beberapa kelompok pura di Bali sebagai berikut:
a. Pura Umum.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widi dengan segala prabawanya (Dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalahPura BesakihPura Batur dan Pura Sad Kahyangan lainnya.
Pura lainnya, yang tergolong pura umum adalah pura yang fungsinya sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran atau jasa guru suci atau Dang Guru. Pura ini dipuja oleh seluruh umat Hindu yang merasa berhutang jasa kepada Dan Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang telah diberikan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti: Pura Purancak, Pura RambutsiwiPura PulakiPura Ponjok BatuPura SilayuktiPura Kentelgumi dan lain-lainnya. Pura-pura tersebut di atas berkaitan dengan Dharma Yatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha dan Empu Kuturan karena peranannya sebagai Dang Guru.
Pura-pura lain yang tergolong umum juga yaitu pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dan kerajaan yang pernah ada di Bali seperti Pura Taman Ayun, yang merupakan Pura Kerajaan Mengwi,Pura Dasar Gelgel merupakan pura Kerajaan Gelgel dan lain-lainnya.
b. Pura Teritorial.
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu: Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan Tiga tampaknya juga bervariasi seperti pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh desa Besakih disebut Pura Banua.
c. Pura Fungsional.
Pura ini mempunyai karakter fungsional karena umat penyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan seperti: mempunyai profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup seperti: bertani, berdagang, nelayan. Karena bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan dengan air, maka mereka mempunyai ikatan yang disebut Pura Empelan atau Pura Ulunsuwi atau Pura Subak.
Demikian pula berdagang merupakan satu sistem mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
d. Pura Kawitan.
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau asal leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Suatu keluarga inti (ayah ibu dan anak-anak) dalam istilah antropologi disebut keluarga batih mempunyai tempat pemujaan yang disebut Sanggah atau Pamerajan.
Kemudian apabila keluarga itu telah bertambah banyak jumlahnya dan sudah ada yang keluar dan rumah asal, maka tempat pemujaan keluarga luas tersebut disebut Sanggah Gede atau Pamerajan Agung.
Selanjutnya pada tingkat yang lebih luas yaitu pada tingkat klen mempunyai tempat pemujaan yang disebut pura Dadia, sehingga mereka disebut tunggal dadia. Apabila klen itu membesar lagi sehingga mencakup Jagat Bali, maka mereka mempunyai tempat pemujaan yang disebut Padarman, biasanya terdapat di Pura Besakih, sepertiPadarman Dalem, Padarman Arya Dauh, Padarman Arya Kepakisandan lain-lainnya.
Pemujaan roh suci leluhur di Bali bukannya pengaruh dan India, tetapi telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia. Konsepsi keagamaan ini adalah unsur asli Indonesia/Bali yang berkembang mulai jaman neolitik ±2500SM dan berlanjut pada jaman perunggu ±500SM. Untuk tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa ini didirikan lah bangunan teras piramid dan menhir, sedangkan untuk pengekalan jasmaniahnya dibuatkan peti kubur batu yang disebut sarkofagus. Bukti-bukti peninggalan arkeologi ini banyak ditemukan di Bali terutama di desa-desa pegunungan seperti Desa Selulung di Kintamani, desa Sembiran, Tenganan Pagringsingan dan lain-lainnya.
Setelah kebudayaan Hindu mempengaruhi Indonesia, maka terjadilah perpaduan konsepsi keagamaan yaitu pemujaan roh suci leluhur yang disebut Batara unsur asli Indonesia atau Bali dan pemujaan Dewa pengaruh dari India.
Akhirnya kedua konsepsi keagamaan ini berdampingan satu dengan yang lainnya. Hal ini jelas tampak pada pura-pura di Bali di mana terdapat tempat pemujaan untuk Hyang Widi yang disebut Padmasana dan tempat pemujaan untuk Batara yang disebut: Sanggah Kemulan, Gedong Pejenengan dan Meru Padarman.
 
BAB IIPENGERTIAN, HISTORIS, FUNGSI KAHYANGAN TIGA
 
1. PengertianSecara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Pada beberapa desa adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabungkan dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap dua buah pura.
Desa adat sebagai lembaga sosial tradisional adalah pengelompokan sosial berdasarkan kesatuan teritorial ditandai mereka bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas pasukadukaan. Pengelompokan yang lain berdasarkan genealogis seperti apa yang disebut tunggal kawitan, tunggal sanggah, pengelompokan sosial yang disebut sisya yang didasarkan atas siapa yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan. Lembaga sosial tradisional yang lain adalah subak (kesatuan petani yang sawahnya menerima air dari satu sumber irigasi yang sama), dan sekaha (kesatuan sukarela). Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya pelestarian dan penyelarasan kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar landasan konsepsi Trihita Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parhyangan = tempat pemujaan, pawongan = manusia, dan pelemahan = wilayah.
Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Trihita Karana yaitu unsur parhyangan dari setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang ke dua dan tiga dari Trihita Karana disebut dengan pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang Widi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan Trihita Karana dalam desa adat di Bali.
Dengan tercakupnya unsur ketuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religius. Maka dari itu perpaduan antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dijiwai oleh agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adat istiadat di masyarakat.
2. Sejarah.
Membicarakan masalah sejarah pendirian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas belum ditemukan. Tetapi besar kemungkinan pada jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut pura tersebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan kata Pura untuk menyebut tempat suci tetapi yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Di antara penasehat pemerintahan Udayana, tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut "Pakiran-kiran i jro makabehan".
Empu Kuturan sebagai seorang senapati dan ahli dalam masalah keagamaan, berhasil dalam menanamkan pengertian di bidang keagamaan dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di Bali. Dalam karangannya Purana Tatwa, Dewa Tatwa, Widisastra, memberikan pelajaran tentang sejarah para Pendeta, Dewa-dewa dan bagaimana caranya memuja Dewa-dewa, dan caranya membangun pura dengan pedagingannya.
Seorang sarjana Belanda yang lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan kecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya sebagai berikut:
Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Empu Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti, muwang ngewangun seraya karya, ngadegang raja purana, mwang nangun karya ngenteg linggih batara ring Bali, kaprateka antuk sira Empu Kuturan, Ngeraris nangun catur agama, catur lokika bhasa, catur gila, mekadi ngewangun Sanggah Kamulan, ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh mwang Dalem.
terjemahan:
Adapun Dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun oleh Empu Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan menyelenggarakan segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagat, demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih batara-batari di Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya dibuat peraturan agama, empat cara-cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan dan lima tatwa agama, seperti mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh dan Dalem.


Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat suci, oleh Empu Kuturan, babad Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut:
Sira to Empu Kuturan sang sida moksah ring Silayukti sira to urnara marahing tumitahing Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga kabeh, apan Bali gung guna sucaya.
Terjemahan:
Beliau Empu Kuturan yang moksa di Silayukti, dia yang mengajarkan membuat pemujaan di Bali, termasuk tempat suci pemujaan untuk roh suci leluhur paibon/ dadia, sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera.

Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten Gianyar.
Pertemuan para tokoh-tokoh agama dari berbagai aliran yang ada di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang Widi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang menghasilkan dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga di mana sekarang berdiri Pura Samuan Tiga di Desa Bedahulu. Pada pura ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan batara- batari.
Tiga kekuatan di atas yang merupakan prabawa Hyang Widi dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai suatu siklus yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran yang tiada terputus sepanjang jaman, karena ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam ini disebut tri kona (segi tiga). Kesaktian untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk memelihara (stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan kepada asalnya (pralina) merupakan tiga sifat yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti.
Di dalam Weda, Tri Murti berarti tiga Dewa yaitu: Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa), yang diwujudkan dengan:
  • Aksara Ang melambangkan Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada.
  • Aksara Ung melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra
  • Aksara Mang melambangkan Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang jika disatukan menjadi A U M. Dalam persenyawaan suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widi.
Dari uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa Kahyangan Tiga pada setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan ketika pemerintahan raja suami istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni pada abad 10M. Perkiraan ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad Pasek yang menyebutkan demikian:
Nguni duk pemadegan sira cri Gunapriya Darmapatni Udayana Warmadewa, hana pesamuan agung ciwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga.
Terjemahan:
Dahulu tatkala bertahtanya Çri Gunapriya Darmapatni dan suaminya Udayana, ada musyawarah besar Çiwa Buddha dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga.
Dan uraian di atas dapat diduga bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut desa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut Awig-awig.
Awig-awig ini mempunyai kedudukan sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara serasi dan harmonis dengan ketertiban yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem cara berpikir yang lugu dan tidak mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal dengan istilah suka duka sebagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya.

3. Fungsi
Untuk lebih memantapkan dan memasyarakatkan konsepsi Tri Murti yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah:

a.Pura Desatempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta.
b.Pura Pusehtempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara.
c.Pura Dalemtempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina alam semesta.

Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki oleh tiap-tiap desa, maka setiap pekarangan rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan tempat beribadat yang disebut "Sanggah" atau "Pamerajan". Perkataan Sanggah berasal dari sanggar yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf dari r menjadi h maka menjadi Sanggah. Secara etimologi adalah berasal dari kata sa dan angga (sa berarti satu dan angga berarti badan). Jadi berarti satu badan atau penunggalan suksma sarira dengan stela sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran ke hadapan Hyang Widi, melalui roh suci leluhur. Sedangkan kata Pamerajan berasal dari kata pa yang menunjukkan tempat dan mara berarti dekat dan ja dari kata jati, yang berarti lahir. Jadi arti dari Pamerajan adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran.
Bangunan suci di Sanggah yang berfungsi untuk pemujaan roh suci leluhur adalah Kamulan. Secara etimologi kata kamulan berasal dari kata mula yang berarti asal dan mendapat awalan ka dan akhiran an yang menunjukkan tempat, sehingga berarti tempat asal yaitu leluhur.
Bentuknya adalah sebagai gedong tetapi di dalamnya dibagi atas tiga ruang yaitu ruang tengah, ruang samping kanan dan ruang samping kiri. Mengenai fungsi masing-masing ruang adalah sebagai berikut:
  • ruang samping kanan adalah pemujaan untuk purusa atau bapanta
  • ruang samping kiri untuk pradana atau ibunta
  • ruang di tengah adalah untuk raganta atau Siwatma.
Pertemuan antara purusa dan pradana menghasilkan ciptaan di mana di dalamnya terdapat unsur kekuatan yang disebut atma. Pelaksanaan puja di Sanggah Kamulan disebut: Guru Stawa, dan dijelaskan puji-pujian kepada roh suci, atau disebut guru rupaka. Mantramnya sebagai berikut:
    • Om dewa-dewa tri devanam, tri murti linggatmanam tri purusa sudha-nityam, sarvajagat jiwatmanam.
    • Om guru dewa, guru rupam, guru padyam, guru purvam, guru pantaram devam, guru dewa suddha nityam.
    Terjemahan bebasnya:
    • Ya Tuhan, para dewa dari tiga dewa, tri murti tiga perwujudan simbul Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa, suci selalu, nyawa dari alam semesta.
    • Ya Tuhan, gurunya dari Dewa, Gurunya batara-batari, junjungan guru permulaan, guru perantara dewa-dewa, gurunya dewa yang selamanya suci.
Konsepsi Tri Murti tampak pula tercermin di Pura Besakih sebagai Pura Sad Kahyangan Bali. Di sini jelas tampak kehadiran tiga buah pura yang besar yang penempatannya berjajar tiga dari Utara ke Selatan. Pura yang paling selatan adalah Pura Kiduling Kreteg, sebagai stana Dewa Brahma. Pura Penataran Agung terletak di tengah stana Dewa Siwa dengan tiga kemahakuasaan yang disebut tri purusa yaitu Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa dan Pura Batu Madeg di sebelah Utara sebagai stana Dewa Wisnu. Stana pemujaan Dewa Siwa di Penataran Agung berbentuk Padma Tiga dan stana pemujaan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu berbentuk Meru bertingkat sebelas. Apabila ketiga pura tersebut di atas; pura Kiduling Kreteg, Penataran Agung dan Batu Madeg ditambah dengan dua buah pura lagi yaitu Pura Gelapdan Pura Ulun Kulkul masing-masing sebagai penjaga arah mata angin Timur dan Barat maka lengkap lah penerapan konsep Catur Lokapala. Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara dan Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa.
Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dari Trihita Karana, penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut:
Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dari Caturpata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting.
Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dari desa yang mengarah ke pantai karena itu Pura Puseh sering disebut Pura Segara di Bali Utara.
Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dari desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup.
Suka ·  ·